Dari Bagian 1
Setelah sampai di apartemenku, Junaedipun bertanya di mana PCku yang rusak.
"Nanti saja" jawabku.
"Lho Pak.."
"Iya aku ingin membicarakan hal yang lain dahulu" kataku.
"Duduk!!" perintahku sambil menunjuk sofa yang ada di ruang tamu apartemenku.
Lia sudah tersenyum geli sambil tetap menggelendot di pundakku. Wangi tubuhnya sangat merangsang..
"Ada apa Pakk" Junaedi tampak takut dan gugup.
"Saya dengar kamu suka godain Lia ya? Hah?!!" bentakku.
"Nggak Pak.."
"Iya Pak bohong dia" kata Lia.
Kamipun duduk berhadapan dengan Junaedi. Lia aku rangkul di sebelahku. Tanganku mengelus-elus pundaknya.
"Kamu cinta ya sama Lia? Jawab yang jujur!!" tanyaku.
Junaedi nggak menjawab.. Hanya diam menunduk memandangi karpet ruang tamuku.
"Kamu harus sadar diri donk.. Masa kamu mau sama cewek cantik seperti Lia" kataku. Lia senyum-senyum sinis melihat Junaedi yang tetap menunduk.
"Kamu kalau diajak omong liat sini yach!!" bentakku.
Junaedi pun mendongakkan wajahnya penuh jerawat dan berkacamata tebal itu.
"Kesiann deh lo" kata Lia sambil tertawa..
"Cewek seperti Lia itu hanya untuk orang sekelas saya tau!!" kataku lagi.
Lia mulai menciumiku. Akupun membalas ciumannya. Kemudian aku tarik Lia berdiri dan kami berjalan kehadapan Junaedi yang masih duduk di sofa. Lia berdiri didepan Junaedi dan aku dibelakang Lia sambil menciumi lehernya yang jenjang.
"Lihat nih.. Kalau aku sih bisa menikmati wanita pujaanmu. Kalau kamu sebatas lihat aja yach" kataku.
Lia tertawa kecil sambil berkata" dasar orang jelek nggak tau diri". Lia kemudian mengangkat tangannya ke atas memeluk kepalaku. Buah dadanya tambah membusung. Kubuka kancing bajunya satu persatu.. Akhirnya lepaslah bajunya ke lantai. Aku buka juga BHnya, Lia tampak tersenyum nakal melihat Junaedi. Junaedi tampak melongo melihat kejadian di depannya itu. Mungkin baru pertama kalinya dia melihat buah dada seindah itu. Aku remas-remas buah dada itu sambil aku pilin puting merah mudanya yang mulai mengeras.
"Hmm Pak robertt.. Enak.." erang Lia.
"Jun, kamu pernah lihat buah dada seindah ini?" tanyaku.
"Be.. belum Pak" jawabnya menahan nafsu.
"Sekarang aku akan isap dan jilati buah dada Lia, wanita pujaanmu.. Kamu perhatikan baik-baik ya.." kataku.
Juanedi tampak gelisah menahan syahwatnya. Kudekatkan kepalaku ke buah dada ranum milik Lia, dan kuisap dan jilati putingnya. Tanganku yang satu meremas buah dadanya yang lain. Sambil melakukan foreplay ini, kami tersenyum kepada Junaedi
"Lihat nih jelek.. Kalau orang ganteng sih boleh menikmati buah dadaku" Lia berkata sambil tersenyum menggoda.
Tangan Junaedi sudah meraba-raba kemaluan di balik celananya. Melihat itu, Lia langsung aku lepas dari pelukkanku.
"Apa-apaan kamu.. Kamu mau mau masturbasi di sini? Jangan coba-coba yach!!" bentakku.
"Mau dipecat lo?" tanya Lia sambil tertawa kecil.
Junaedi langsung menarik tangannya ketakutan. Tapi tampak celananya sudah menonjol terdesak kemaluannya yang berontak.
"Kamu saya kasih hadiah deh.. Coba kamu bukain rok dan celana dalam Lia" perintahku.
"Benerr Pak?" jawab Junaedi senang. Mungkin dia berharap nanti akan dapat lebih lagi. Padahal sih nggak mungkin kali ye..
"Cepetan monyong.. Kapan lagi lu bisa liat bodi cewek secantik gue?" sahut Lia.
Junaedipun bangkit dari duduknya dan berjalan ke belakang Lia. Diturunkannya retsleting rok mini sekretaris cantikku itu.
"Awas kalau berani pegang-pegang yach" kata Lia.
Liapun kini tinggal mengenakan celana dalam G-string hitam dipadu dengan stoking yang sewarna. Melihat pemandangan itu, aku berubah pikiran. Aku tak ingin celana dalam Lia dilepas. Rasanya lebih sexy kalau tetap dipakai.
"Celana dalamnya biarin aja" kataku. Junaedi tampak kecewa
"Udah ngapain lo berdiri terus di situ.. Duduk sana. Gue mau ngentot sama Pak Robert nih.. Gue mau isepin kontolnya dulu.. Lo lihat aja ya.. Jelek" Lia terus menggoda sambil mencaci Junaedi.
Liapun berlutut didepanku. Celanaku dibukanya. Begitu juga celana dalamku. Sementara akupun membuka kemeja dan dasiku. Lia mengenggam kemaluanku yang sudah mencapai ukuran maksimal (20 cm) itu.
"Nih.. Baru cowok.." kata Lia pada Junaedi yang sudah gelisah menahan nafsunya.
"Kamu baru tahu khan.. Untuk cewek secantik Lia.. Ukuran harus besar.." kataku.
Liapun mulai menjilati kepala kemaluanku sambil matanya tak henti menatap Junaedi. Kemudian dikulumnya kemaluanku. Mulutnya yang mungil tampak penuh dengan kemaluanku. Tak mampu Lia menghisap semuanya, mungkin hanya setengahnya saja yang bisa ditampungnya. Kemudian Lia mengeluarkan kemaluanku dari mulutnya, dan menjilati batangnya dan buah zakarku. Kemudian dia mengulum lagi kemaluanku, begitu seterusnya. Selama itu pula dia mendesah-desah sambil menatap Junaedi dengan pandangan menggoda. Akupun sibuk menyibakkan rambut Lia agar tidak menutupi pandangan Junaedi saat wanita pujaan hatinya ini sedang melakukan oral-sex kepada bosnya. Mungkin baru kali ini si Junaedi melihat adegan seperti itu.
"Lo liat khan.. Enak bangeth.. Ehm..." Lia terus mengulum kemaluanku.
Juanedi tampak sudah tidak karuan lagi tampangnya menahan gairah. Ingin dia melakukan masturbasi tetapi dia takut padaku dan Lia.
Kami lalu pindah ke sofa di depan Junaedi. Lia duduk dipangkuanku menghadap Junaedi sambil membelakangiku. Aku ciumi pundaknya lalu, dia menoleh kebelakang, dan kamipun berciuman. Kusibakkan celana dalam G-stringnya, dan vaginanya yang bersih tak berambut tampak merah merekah. Kuusap-usap vagina dan klitorisnya.
"Uhh.. Pak Robert... Lia suka... Ahh.. Enak sekali Pak.." Lia sudah meracau tidak karuan.
Matanya sudah menutup menahan gairah. Dia mungkin sudah lupa akan tugasnya menggoda Junaedi. Saat tanganku meraba-raba vaginanya, Lia tampak meremas-remas buah dadanya sendiri. Aku ciumi pundak dan lehernya dari belakang sambil tersenyum menatap Junaedi penuh rasa puas bisa menunjukkan kekuasaanku dan keperkasaanku di depannya.
"Masukin Pak.. Please.. Fuck me.. Fuck me.. I beg you " kata Lia meracau.
Akupun mengarahkan kemaluanku ke liang vagina Lia. Kemudian Lia menurunkan pantatnya yang sexy itu sehingga kemaluanku perlahan memasuki liang nikmat sekertarisku ini.
"Oh.. My God... So big... I love you Pak Robert..." Lia mengerang nikmat sambil menjerit tertahan. Memang menurut Lia, ukuran tunangannya tidak begitu besar. Hanya rata-rata saja, sehingga dia sangat puas bercumbu denganku.
Lia nampak sudah tak bisa mengontrol dirinya lagi. Pantatnya dinaik turunkan dengan liar sambil mengerang dan meracau
"Ohh.. Yess.. Pak.. Fuck me.. Oh so good..."
"Ohh... Yeah.. Ohh.. Yeah.."
Sekitar 15 menit kemudian diapun mencapai orgasmenya diikuti dengan lengkingan suaranya melepas beban hasrat seksualnya. Kemudian kutarik Lia berdiri dan aku ajak menghampiri tempat duduk Junaedi. Kusuruh dia berlutut didepanku tepat didepan mata Junaedi.
"Ayo sayang isap... Sampai keluar ya"
"Sedangkan kamu perhatikan baik-baik" kataku pada Junaedi.
Lia pun menghisap dan mengulum kemaluanku tepat didepan Junaedi. Tangan kananku berkacak pinggang sedangkan tangan kiriku menyibakkan rambut Lia agar Junaedi dapat melihat dengan jelas bagaimana cara memperlakukan wanita secantik Lia.
Tak lama akupun merasa ada cairan yang akan keluar, dan kemudian aku remas rambut Lia sambil menyemburkan cairan ejakulasiku ke dalam mulutnya. Sebagian tampak meleleh keluar membasahi dagunya dan jatuh menuju buah dadanya yang besar.
"Eh.. Lo jangan bengong aja.. Ambilin gue tisu" bentak Lia pada si Junaedi yang sedang tertegun melihat adegan kami itu.
Dengan menurut, Junaedi mengambil tisu di atas meja.. Dan memberikannya pada Lia. Lia membersihkan sisa-sisa spermaku di wajah dan buah dadanya, terus memberikan pada Junaedi.
"Jelek.. Nih buangin" perintahnya.
Aku tersenyum saja melihat perlakuan Lia pada si Junaedi ini. Tampak semakin sexy saja sekretarisku ini ketika dia menunjukkan kuasanya pada si malang kutu buku ini.
Setelah bersih-bersih, kamipun mengenakan pakaian kami kembali. Kemudian kami memesan pizza untuk mengisi perut kami berdua yang keroncongan setelah bertempur tadi. Sementara itu si Junaedi aku suruh memperbaiki PC di kamarku.
Tiba-tiba aku teringat janjiku dengan si bule Jason. Wahh.. Aku langsung telpon dia untuk minta maaf dengan alasan ada meeting mendadak dengan klien. Untung dia bisa mengerti dan bersedia mengubah janji untuk besok malam saja.
Liapun lupa kalau dia belum telpon tunangannya. Dia kemudian menelpon dan minta maaf karena harus ikut aku ke klien dan lupa menelpon untuk tidak usah dijemput di kantor tadi. Dia tampak kelelahan, hingga aku tawarkan untuk menginap saja di apartemenku daripada pulang ke rumah ortunya di Tangerang. Diapun setuju lalu mengabari ortunya kalau dia tidak bisa pulang dengan alasan-alasan klise.
Tak lama Junaedipun selesai mereparasi komputerku. Katanya ada masalah di memorinya. Memang pintar anak itu. Aku kemudian suruh Lia untuk memberi dia uang untuk ongkos pulang. Liapun mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan kemudian memberikannya pada Junaedi.
"Nih buat lo. Udah pulang sana. Awas ya kalau lo cerita-cerita" ancamnya.
Junaedipun kemudian pamit pulang. Entah apa yang tadi ada di benaknya menyaksikan adegan persetubuhanku dengan Lia wanita pujaannya. Aku rasa dia akan masturbasi habis-habisan sesampainya di rumah Ha.. Ha..
*****
E N D
Cerita Sex
Minggu, 28 Agustus 2011
Lia, Sekretaris Sexy - 1
Hari itu aku datang ke kantor sekitar pukul 9.30 pagi. Sebenarnya aku malas untuk masuk kerja hari ini, tetapi akan ada rapat bulanan yang diikuti semua departemen. Terlebih ayahku akan datang juga dalam rapat itu, jadi akupun harus masuk kerja.
Sebenarnya aku lebih suka pergi dengan teman kuliahku dulu di Amerika yang datang ke Jakarta. Dia ingin aku ajak jalan-jalan.. Tapi yach karena ada rapat sialan ini aku harus tunda deh sampai malam nanti. Aku sudah janjian dengan dia, akan aku jemput sehabis pulang kantor nanti. Eh.. Dia malah menolak dan bilang dia yang akan ke kantorku sore nanti. Dia bilang tidak apa harus menunggu karena dia bisa bertemu dengan sekretarisku, Lia.
Temanku itu, Jason, orang amrik asli. Pernah dia main ke kantorku dan tampaknya dia terpesona dengan kecantikan dan kesexyan Lia. Memang sekertarisku itu cantik dan sexy sekali. Dia berumur 24 tahun, berkulit putih dengan tinggi 175 cm. Posturnya yang tinggi dan langsing, didukung dengan buah dadanya yang besar(mungkin 36C).
Wajahnya sekilas mirip Lyra Virna bintang sinetron itu. Dia lulusan akademi sekretaris dan fasih berbahasa Inggris. Tak heran kalau si Jason suka sama dia dan selalu mengajak ngobrol kalau ketemu. Tetapi aku sudah peringatkan si bule itu, kalau sekertarisku tidak boleh diganggu. Hanya aku yang boleh menikmatinya.. (disamping tunangannya kali ye..).
Begitu masuk ke lobby, aku berharap melihat Noni di sana. Tapi ternyata yang ada di meja resepsionis bukan dia tapi si Agus office boy kantor.
"Selamat pagi Pak" Agus menyapaku.
"Pagi.. Lho kok kamu yang di sini, Noni mana?"
"Hari ini nggak masuk Pak"
"Kenapa?"
"Maaf Pak.. Saya nggak tahu"
Wah.. Kenapa ya si Noni nggak masuk hari ini. Apa karena dia tidak tahan lagi dengan perlakuanku pada dia.. pikirku. Begitu masuk ke ruanganku, aku telpon Ibu Diana atasan langsungnya.
"Bu Diana.. Noni kenapa kok tidak masuk?" tanyaku
"Oh.. Anu Pak Robert.. Anu. Si Noni minta ijin.. Apa.. Ibunya masuk rumah sakit.. Tadi pagi dia telpon saya." Ibu Diana ini memang selalu gugup kalau bicara denganku.
Dia sudah bekerja lama di kantor dan sudah berumur juga. Sejak ayahku merintis perusahaan ini, dia sudah bergabung.
"Terus kamu ijinkan?" tanyaku.
"Iiya Pak.. Maaf Pak.."
"Ya sudah. Ijin berapa hari?" tanyaku.
"Dua hari Pak"
"Apa?? Dua hari?? Tidak bisa!! Bilang sama dia harus masuk besok!!" perintahku.
"Baaiikk Pak Roobertt.."
Aku memang sedang nafsu dengan keindahan gadis belia Noni ini. Hari ini aku sudah berencana untuk memakainya sehabis meeting nanti. Beberapa kali memang aku pakai dia sewaktu jam kerja hanya untuk sekedar oral seks saja. Lain soalnya jika sudah jam pulang kantor. Jika sudah sepi aku setubuhi dia di kantorku sementara kadang kala pacarnya menunggu di lobby.
Eh.. Ternyata dia nggak masuk!! Ya sudah besok saja akan aku hukum dia. He.. He... Hm.. Memikirkan apa yang akan aku perbuat esok terhadap si Noni ini aku tersenyum sendiri. Aku harus kreatif nih.. Sekalian untuk jadi bahan cerita di 17Tahun.com nanti.
Meeting hari itu berlangsung sangat membosankan. Setiap kepala departemen memberikan presentasi tentang kinerja bagian masing-masing. Aku sudah tak sabar ingin cepat sore hari saja. Kulihat arloji Rolexku detiknya kok terasa lebih lambat dari biasanya. Tapi karena ayahku ada di ruangan itu, aku pasang wajah serius.. Walaupun dalam benakku yang terlintas bukan mengenai sales turnover, competitive analysis, dan lain sebagainya yang bikin orang ngantuk itu. Tetapi aku memikirkan mau aku ajak ke mana si bule gila anak buah george bush itu.
Yang menarik perhatianku, para manajer di ruangan itu tampak sesekali melirik ke Lia yang duduk di sebelahku. Memang dia hari itu berpakaian sexy nan mengundang hasrat setiap lelaki normal. Bajunya berleher agak sedikit rendah sehingga belahan buah dadanya yang ranum nampak menggoda. Juga roknya yang mini dan stokingnya menjadikan Lia begitu menjadi perhatian manajer-manajer di ruangan itu. Akupun tersenyum dalam hati.. Bolehlah kalian pelototin sekertarisku.. Asalkan tidak boleh sedikitpun menyentuhnya.
Setelah meeting selesai, akupun kembali ke ruanganku. Membalas e-mail termasuk beberapa e-mail dari pembaca forum 17 tahun ini. Tak lama Lia masuk ke ruanganku.
"Ada apa Lia?" tanyaku sambil masih mengetik e-mail di notebookku.
"Ini Pak.. Saya ada masalah sedikit" katanya.
"Coba ceritakan" kataku.
Lalu dia menceritakan bahwa dia merasa terganggu dengan perhatian yang berlebihan dari seorang karyawan di bagian IT bernama Junaedi. Ternyata Junaedi ini jatuh cinta berat sama Lia. Dia sering membelikan coklat, kue, kartu, bunga, dll. Yang paling mengesalkan Lia, si Junaedi ini sering telpon ke rumah atau ke HP, kirim SMS dll.
"Padahal dia tahu saya sudah bertunangan Pak.. Tapi dia tetap nekat terus" Lia menambahkan.
"Yach habis kamu cantik sih " kataku.
Lia tersenyum senang mendengar pujianku. Memang satu dua minggu terakhir ini Lia nampak cemburu karena perhatianku terfokus ke Noni. Sudah agak jarang aku berikan dia kenikmatan birahi seperti dulu. Tapi hari itu aku jadi horny sekali melihat dia. Mungkin karena kecewa Noni tidak ada, atau juga karena cara para manajer menelanjangi Lia dengan mata mereka yang membuat aku bergairah. Tetapi tentu saja penampilan Lia hari itu juga ok banget.
Tiba-tiba saja ada ide terlintas di benakku. Aku tahu kalau Lia ini seorang eksibisionis. Dia memang suka kalau keindahan tubuhnya dikagumi orang, hanya dia tidak mau kalau disentuh orang lain kecuali tunangannya dan aku tentunya. Pernah aku setubuhi dia di depan anak SMA, dan dia tampak sangat menikmatinya. Dia sendiri yang punya ide seperti itu, dan menawarkan kepada anak cowok SMA yang kita temui di mal untuk melihat dan memfoto kita saat bersetubuh.
Dapat dibayangkan betapa hornynya anak itu melihat Lia yang dengan sengaja menggoda dia saat bersetubuh denganku. Entah berapa kali anak tanggung itu beronani ria.., tanpa mendapatkan kesempatan sekalipun untuk menyentuh Lia. Mungkin hanya sedikit saat Lia meminta dia untuk membuka pengait BHnya yang ada di bagian depan itu.
"Bagaimana kalau kita kerjain si Junaedi seperti anak SMA dulu itu?" usulku sambil tersenyum nakal.
"Hm.. Nanti kalau dia bilang-bilang sama yang lain gimana Pak?" Lia tampak senang dengan ide itu walaupun agak cemas dengan resikonya.
"Ah.. Nggak mungkin dia berani begitu.. Terlebih dia juga nggak punya bukti"
"Iya Pak. Kalau begitu boleh.. Biar tau rasa dia.. Masa jelek begitu mau sama saya" kata Lia tersenyum. Hm.. Memang binal sekertarisku ini.
Hari itu sekitar jam 3.30 aku pulang kantor. Aman.. Karena ayahku sudah pulang sejak meeting selesai tadi siang. Aku ajak Lia tentu saja dengan alasan mau ketemu klien. Sebenarnya aku tak perlu pakai alasan-alasan segala, tetapi Lia merasa nggak enak dengan rekan-rekan sekretaris lainnya. Jadi aku pura-pura bilang ke dia untuk bawa bahan presentasi buat si klien di depan teman-temannya. Sebenarnya aku yakin kalau kelakuanku dan si Lia ini sudah jadi rahasia umum di sini, tapi yach memang si Lia ini ada-ada saja..
Tak lupa aku ajak si Junaedi. Aku telpon Pak Erwan manajer IT untuk meminjam Junaedi dengan alasan untuk memperbaiki PCku yang rusak di apartemenku. Memang PCku suka ngadat.. Nggak tau kenapa.
Aku dan Lia sudah siap menunggu di depan lift, baru si Junaedi nongol sambil membawa perkakas reparasinya. Kurang ajar juga nih anak, pikirku. Masak bos disuruh nunggu.
"Maaf Pak.. Tadi ada yang ketinggalan" katanya beralasan.
Kamipun langsung meluncur dengan Mercy silver metalik kesayanganku menembus jalanan kota Jakarta. Lia duduk didepan disebelahku, sedang Junaedi duduk dibelakang. Sabuk pengaman yang dikenakan Lia makin membuat buah dada putih 36Cnya mencuat. Mata Junaedi sudah lirik sana-lirik sini, tampak dari kaca spionku. Dia melirik paha mulus milik Lia yang terbungkus stoking. Dari cara duduknya tampak Lia memang sengaja menggoda dia.
Sebelumnya aku akan coba gambarkan tentang si Junaedi ini. Dia berumur 22 tahun, dan tampangnya "nerdy" sekali. Yach seperti professor linglung begitulah.. Memang orangnya pintar, tapi yach itu tadi.. Penampilannya ancur-ancuran. Pantas dia kerja di IT yang berhubungan dengan mesin bukan orang.
Dia sering diledek dan diganggu oleh teman-temannya, terutama sih oleh Lia. Mungkin karena dia kesal kok bisa ditaksir orang macam Junaedi ini. Omongan "najis", "hey jelek..", "gila lu ngaca dulu donk.. Mana nafsu gua ama lo" itu yang pernah aku dengar diucapkan Lia padanya. Pernah aku dengar si Junaedi ini nangis karena nggak tahan dimaki-maki Lia. Gara-garanya si Junaedi nekat mau traktir Lia waktu sehabis gajian. Bukannya diterima eh.. Malah dimaki secara kasar oleh Lia di depan umum.
"Daripada traktir gue mendingan lo nabung deh buat operasi plastik.. Kalau lo jadi ganteng kayak Pak Robert mungkin gue baru mau ama lo" desas-desusnya sih begitu yang dikatakan Lia saat itu. Wah.. Memang sekertarisku ini lain dari yang lain. Cantik bukan main tapi juga kejam sama orang yang lebih rendah dari dia. Juga liar di atas ranjang.. Hm.. Really my type of girl..
Singkat cerita, kamipun sampai di apartemenku. Di dalam lift Lia sudah mulai beraksi. Dia menciumiku sambil matanya tak henti menatap Junaedi yang tak berkedip menatap. Lia tampak senang sekali melihat Junaedi sudah mulai bernafsu. Pintu lift terbuka di lantai 10, dua orang masuk.., sehingga Liapun melepas ciumannya, tetapi tetap aku rangkul pundaknya sambil kuelus-elus. Lia tersenyum menggoda sementara Junaedi wajahnya mulai memerah..
Ke Bagian 2
Sebenarnya aku lebih suka pergi dengan teman kuliahku dulu di Amerika yang datang ke Jakarta. Dia ingin aku ajak jalan-jalan.. Tapi yach karena ada rapat sialan ini aku harus tunda deh sampai malam nanti. Aku sudah janjian dengan dia, akan aku jemput sehabis pulang kantor nanti. Eh.. Dia malah menolak dan bilang dia yang akan ke kantorku sore nanti. Dia bilang tidak apa harus menunggu karena dia bisa bertemu dengan sekretarisku, Lia.
Temanku itu, Jason, orang amrik asli. Pernah dia main ke kantorku dan tampaknya dia terpesona dengan kecantikan dan kesexyan Lia. Memang sekertarisku itu cantik dan sexy sekali. Dia berumur 24 tahun, berkulit putih dengan tinggi 175 cm. Posturnya yang tinggi dan langsing, didukung dengan buah dadanya yang besar(mungkin 36C).
Wajahnya sekilas mirip Lyra Virna bintang sinetron itu. Dia lulusan akademi sekretaris dan fasih berbahasa Inggris. Tak heran kalau si Jason suka sama dia dan selalu mengajak ngobrol kalau ketemu. Tetapi aku sudah peringatkan si bule itu, kalau sekertarisku tidak boleh diganggu. Hanya aku yang boleh menikmatinya.. (disamping tunangannya kali ye..).
Begitu masuk ke lobby, aku berharap melihat Noni di sana. Tapi ternyata yang ada di meja resepsionis bukan dia tapi si Agus office boy kantor.
"Selamat pagi Pak" Agus menyapaku.
"Pagi.. Lho kok kamu yang di sini, Noni mana?"
"Hari ini nggak masuk Pak"
"Kenapa?"
"Maaf Pak.. Saya nggak tahu"
Wah.. Kenapa ya si Noni nggak masuk hari ini. Apa karena dia tidak tahan lagi dengan perlakuanku pada dia.. pikirku. Begitu masuk ke ruanganku, aku telpon Ibu Diana atasan langsungnya.
"Bu Diana.. Noni kenapa kok tidak masuk?" tanyaku
"Oh.. Anu Pak Robert.. Anu. Si Noni minta ijin.. Apa.. Ibunya masuk rumah sakit.. Tadi pagi dia telpon saya." Ibu Diana ini memang selalu gugup kalau bicara denganku.
Dia sudah bekerja lama di kantor dan sudah berumur juga. Sejak ayahku merintis perusahaan ini, dia sudah bergabung.
"Terus kamu ijinkan?" tanyaku.
"Iiya Pak.. Maaf Pak.."
"Ya sudah. Ijin berapa hari?" tanyaku.
"Dua hari Pak"
"Apa?? Dua hari?? Tidak bisa!! Bilang sama dia harus masuk besok!!" perintahku.
"Baaiikk Pak Roobertt.."
Aku memang sedang nafsu dengan keindahan gadis belia Noni ini. Hari ini aku sudah berencana untuk memakainya sehabis meeting nanti. Beberapa kali memang aku pakai dia sewaktu jam kerja hanya untuk sekedar oral seks saja. Lain soalnya jika sudah jam pulang kantor. Jika sudah sepi aku setubuhi dia di kantorku sementara kadang kala pacarnya menunggu di lobby.
Eh.. Ternyata dia nggak masuk!! Ya sudah besok saja akan aku hukum dia. He.. He... Hm.. Memikirkan apa yang akan aku perbuat esok terhadap si Noni ini aku tersenyum sendiri. Aku harus kreatif nih.. Sekalian untuk jadi bahan cerita di 17Tahun.com nanti.
Meeting hari itu berlangsung sangat membosankan. Setiap kepala departemen memberikan presentasi tentang kinerja bagian masing-masing. Aku sudah tak sabar ingin cepat sore hari saja. Kulihat arloji Rolexku detiknya kok terasa lebih lambat dari biasanya. Tapi karena ayahku ada di ruangan itu, aku pasang wajah serius.. Walaupun dalam benakku yang terlintas bukan mengenai sales turnover, competitive analysis, dan lain sebagainya yang bikin orang ngantuk itu. Tetapi aku memikirkan mau aku ajak ke mana si bule gila anak buah george bush itu.
Yang menarik perhatianku, para manajer di ruangan itu tampak sesekali melirik ke Lia yang duduk di sebelahku. Memang dia hari itu berpakaian sexy nan mengundang hasrat setiap lelaki normal. Bajunya berleher agak sedikit rendah sehingga belahan buah dadanya yang ranum nampak menggoda. Juga roknya yang mini dan stokingnya menjadikan Lia begitu menjadi perhatian manajer-manajer di ruangan itu. Akupun tersenyum dalam hati.. Bolehlah kalian pelototin sekertarisku.. Asalkan tidak boleh sedikitpun menyentuhnya.
Setelah meeting selesai, akupun kembali ke ruanganku. Membalas e-mail termasuk beberapa e-mail dari pembaca forum 17 tahun ini. Tak lama Lia masuk ke ruanganku.
"Ada apa Lia?" tanyaku sambil masih mengetik e-mail di notebookku.
"Ini Pak.. Saya ada masalah sedikit" katanya.
"Coba ceritakan" kataku.
Lalu dia menceritakan bahwa dia merasa terganggu dengan perhatian yang berlebihan dari seorang karyawan di bagian IT bernama Junaedi. Ternyata Junaedi ini jatuh cinta berat sama Lia. Dia sering membelikan coklat, kue, kartu, bunga, dll. Yang paling mengesalkan Lia, si Junaedi ini sering telpon ke rumah atau ke HP, kirim SMS dll.
"Padahal dia tahu saya sudah bertunangan Pak.. Tapi dia tetap nekat terus" Lia menambahkan.
"Yach habis kamu cantik sih " kataku.
Lia tersenyum senang mendengar pujianku. Memang satu dua minggu terakhir ini Lia nampak cemburu karena perhatianku terfokus ke Noni. Sudah agak jarang aku berikan dia kenikmatan birahi seperti dulu. Tapi hari itu aku jadi horny sekali melihat dia. Mungkin karena kecewa Noni tidak ada, atau juga karena cara para manajer menelanjangi Lia dengan mata mereka yang membuat aku bergairah. Tetapi tentu saja penampilan Lia hari itu juga ok banget.
Tiba-tiba saja ada ide terlintas di benakku. Aku tahu kalau Lia ini seorang eksibisionis. Dia memang suka kalau keindahan tubuhnya dikagumi orang, hanya dia tidak mau kalau disentuh orang lain kecuali tunangannya dan aku tentunya. Pernah aku setubuhi dia di depan anak SMA, dan dia tampak sangat menikmatinya. Dia sendiri yang punya ide seperti itu, dan menawarkan kepada anak cowok SMA yang kita temui di mal untuk melihat dan memfoto kita saat bersetubuh.
Dapat dibayangkan betapa hornynya anak itu melihat Lia yang dengan sengaja menggoda dia saat bersetubuh denganku. Entah berapa kali anak tanggung itu beronani ria.., tanpa mendapatkan kesempatan sekalipun untuk menyentuh Lia. Mungkin hanya sedikit saat Lia meminta dia untuk membuka pengait BHnya yang ada di bagian depan itu.
"Bagaimana kalau kita kerjain si Junaedi seperti anak SMA dulu itu?" usulku sambil tersenyum nakal.
"Hm.. Nanti kalau dia bilang-bilang sama yang lain gimana Pak?" Lia tampak senang dengan ide itu walaupun agak cemas dengan resikonya.
"Ah.. Nggak mungkin dia berani begitu.. Terlebih dia juga nggak punya bukti"
"Iya Pak. Kalau begitu boleh.. Biar tau rasa dia.. Masa jelek begitu mau sama saya" kata Lia tersenyum. Hm.. Memang binal sekertarisku ini.
Hari itu sekitar jam 3.30 aku pulang kantor. Aman.. Karena ayahku sudah pulang sejak meeting selesai tadi siang. Aku ajak Lia tentu saja dengan alasan mau ketemu klien. Sebenarnya aku tak perlu pakai alasan-alasan segala, tetapi Lia merasa nggak enak dengan rekan-rekan sekretaris lainnya. Jadi aku pura-pura bilang ke dia untuk bawa bahan presentasi buat si klien di depan teman-temannya. Sebenarnya aku yakin kalau kelakuanku dan si Lia ini sudah jadi rahasia umum di sini, tapi yach memang si Lia ini ada-ada saja..
Tak lupa aku ajak si Junaedi. Aku telpon Pak Erwan manajer IT untuk meminjam Junaedi dengan alasan untuk memperbaiki PCku yang rusak di apartemenku. Memang PCku suka ngadat.. Nggak tau kenapa.
Aku dan Lia sudah siap menunggu di depan lift, baru si Junaedi nongol sambil membawa perkakas reparasinya. Kurang ajar juga nih anak, pikirku. Masak bos disuruh nunggu.
"Maaf Pak.. Tadi ada yang ketinggalan" katanya beralasan.
Kamipun langsung meluncur dengan Mercy silver metalik kesayanganku menembus jalanan kota Jakarta. Lia duduk didepan disebelahku, sedang Junaedi duduk dibelakang. Sabuk pengaman yang dikenakan Lia makin membuat buah dada putih 36Cnya mencuat. Mata Junaedi sudah lirik sana-lirik sini, tampak dari kaca spionku. Dia melirik paha mulus milik Lia yang terbungkus stoking. Dari cara duduknya tampak Lia memang sengaja menggoda dia.
Sebelumnya aku akan coba gambarkan tentang si Junaedi ini. Dia berumur 22 tahun, dan tampangnya "nerdy" sekali. Yach seperti professor linglung begitulah.. Memang orangnya pintar, tapi yach itu tadi.. Penampilannya ancur-ancuran. Pantas dia kerja di IT yang berhubungan dengan mesin bukan orang.
Dia sering diledek dan diganggu oleh teman-temannya, terutama sih oleh Lia. Mungkin karena dia kesal kok bisa ditaksir orang macam Junaedi ini. Omongan "najis", "hey jelek..", "gila lu ngaca dulu donk.. Mana nafsu gua ama lo" itu yang pernah aku dengar diucapkan Lia padanya. Pernah aku dengar si Junaedi ini nangis karena nggak tahan dimaki-maki Lia. Gara-garanya si Junaedi nekat mau traktir Lia waktu sehabis gajian. Bukannya diterima eh.. Malah dimaki secara kasar oleh Lia di depan umum.
"Daripada traktir gue mendingan lo nabung deh buat operasi plastik.. Kalau lo jadi ganteng kayak Pak Robert mungkin gue baru mau ama lo" desas-desusnya sih begitu yang dikatakan Lia saat itu. Wah.. Memang sekertarisku ini lain dari yang lain. Cantik bukan main tapi juga kejam sama orang yang lebih rendah dari dia. Juga liar di atas ranjang.. Hm.. Really my type of girl..
Singkat cerita, kamipun sampai di apartemenku. Di dalam lift Lia sudah mulai beraksi. Dia menciumiku sambil matanya tak henti menatap Junaedi yang tak berkedip menatap. Lia tampak senang sekali melihat Junaedi sudah mulai bernafsu. Pintu lift terbuka di lantai 10, dua orang masuk.., sehingga Liapun melepas ciumannya, tetapi tetap aku rangkul pundaknya sambil kuelus-elus. Lia tersenyum menggoda sementara Junaedi wajahnya mulai memerah..
Ke Bagian 2
Letter from My Friend
Surabaya, 14 Desember 2000
Kepada sahabatku tempatku bersandar
di tempat
Halo sobat,
Heran yah? Setelah sekian lama baru aku menulis surat kepadamu. Maaf, mungkin selama itu aku terbuai oleh mimpi indahku yang semu. Namun kuminta sedikit waktumu untuk mendengar ceritaku, sayang aku lebih suka menulisnya lewat surat namun cara ini lebih efisien daripada telepon bukan? Lagipula aku tak ingin mendengar ocehanmu yang selalu sok tahu dan sok dewasa.. ah jangan marah, aku hanya bergurau.
Begini,
Hari ini aku menangis sepuasnya, bukan, bukan karena hasil ujianku yang kutahu pastilah sangat-sangat jelek, bukan pula karena kemarahan Papa karena uang jajanku yang selalu habis. Tapi cintaku.. sayangku.. pergi..
Masih ingat Raja? Raja adalah satu-satunya pria yang mampu membuatku tertawa, mampu membuatku menangis gembira, mampu menepis awan-awan kelabu yang singgah di hari-hariku, yang bisa memelukku dengan lengan-lengannya yang kekar dan dadanya yang bidang. Raja pulalah yang membangkitkanku dari ketenggelamanku dalam duka yang menyayat hatiku delapan bulan lalu, setelah secara begitu menyakitkan, seorang lelaki mencampakkanku demi mantan pacarnya, ah kau pasti tertawa mengingatnya. Raja menghiburku dengan kata-katanya yang manis, membuatku tertawa dengan gurauan-gurauannya, membuatku merasakan diriku sebagai seorang wanita seutuhnya dengan perlakuannya yang gentle terhadapku. Rajalah yang membantuku melalui masa-masa berat di kesendirianku sebagai seorang anak tunggal di keluarga yang terlalu pas-pasan untuk menggaji seorang pembantu rumah tangga.
Ah.. betapa aku menyayangi Raja, bahkan melebihi kasih sayangku pada orangtuaku yang jarang di rumah. Kau tahu kan, profesi Papa sebagai seorang pegawai kantoran, dan Mama sebagai guru sangat menyita waktu mereka untuk menemaniku. Hanya di waktu malam saja mereka menyempatkan waktu untuk membelaiku, dan di hari Minggu, saat kami berangkat ke gereja. Jadi kurasa kau pun tak heran, di samping karena keberadaanku sebagai anak tunggal yang selalu haus akan seorang teman, aku adalah seorang wanita yang memainkan perasaan dalam setiap tindakan dan pikiranku, betapa aku membutuhkan sosok seorang kekasih yang mendampingiku di hari-hari sepiku. Menghangatkan dan menghiburku.
Aku berharap banyak, padanya, kuakui hal itu, karena siapakah aku? Aku bukanlah anak seorang kaya yang mampu memikat lawan jenisku dengan pernik-pernik perhiasan dan baju-baju mewah, bukan pula gadis yang sangat cantik rupawan yang bisa membuat bahkan seorang pangeran pun bertekuk lutut dan mengemis cintaku. Alangkah berbedanya kondisiku dengan Raja, yang terlahir di sebuah keluarga kaya, yang selalu berganti mobil setiap tahun, yang selalu mengenakan pakaian dan parfum ternama di sekujur tubuhnya, yang selalu keluar masuk tempat-tempat gaul di sisi-sisi jalanan Surabaya. Seorang lelaki menarik yang dapat menjatuhkan hati wanita manapun dengan senyum dan daya persuasifnya yang luar biasa. Namun yang kupuja darinya hanyalah kenyataan saat itu bahwa ia begitu menyayangiku, begitu menunjukkan betapa ia tidak memandang harta dan kecantikan dalam kecintaannya padaku.
Bagaimana mungkin seorang wanita tidak terlena oleh kesetiaan yang diberikan seorang pria kepadanya, bahkan perkenalanku dengan seluruh personil keluarganya semakin memicu tercurahnya kasih sayang dan kesetiaanku padanya. Kami telah berhasil menyatukan kedua kelompok kami, yang semula tidak saling mengenal satu sama lain, yang semula berbeda kultur dan kebiasaan, sehingga menjadi satu kelompok remaja yang cerewet dan menggemaskan. Semua sahabat kami, termasuk kau, ingat, mengakui kami sebagai pasangan yang paling serasi, di saat teman yang lainnya bermain layangan dengan kekasih-kekasih mereka (tahu maksudku?).
Segalanya berjalan begitu sempurna, walaupun ada gejolak, namun semuanya terasa dapat terselesaikan dengan baik, di gereja, maupun di antara kami pribadi.
Sobatku tersayang,
Aku ingin mengatakan kepadamu mengapa aku merasa sangat bersedih hari ini, mungkin satu kata perpisahan yang biasa saja takkan membuat hatiku berkeping-keping. Namun kau tahu, sobatku? Ada orang bijak berkata, "jangan melakukan hal yang dapat mencegah terlaksananya hal lain" mungkin kau tak paham artinya. Ah.. mungkin setelah kuceritakan pengalamanku ini kamu akan mengerti.
Sore itu, tiga bulan yang lalu, Raja datang ke rumahku seperti biasa. Dan seperti biasa pula tanpa basa-basi ia langsung menuju ke sudut ruangan dan memainkan jemarinya di atas tuts-tuts organ tuaku. Masih teringat saat itu, ia memainkan lagu "Bunga Terakhir" kegemarannya. Aku mendengarkan dengan seksama, menikmati suaranya yang berat mengiringi lagu itu, dan betapa kulihat dari sudut-sudut matanya terpancar penghayatannya yang begitu dalam terhadap lagu yang sedang dimainkannya. Membuatku terharu terbawa oleh perasaanku sendiri, memeluk punggungnya dan mencium rambutnya yang mulai sedikit panjang. Merasakan kehadiranku di belakangnya, Raja menghentikan gerakan jemarinya, membalikkan tubuhnya, dan menengadah menatap senyuman penuh kasih yang kuberikan padanya. Kulihat ia tersenyum, menarik tubuhku dan mengecup bibirku, membiarkan tanganku menopang berat tubuhku di pahanya.
Ah, bahkan diriku merasa sangat romantis, saat bibirnya bergerak menyapu bibirku seakan menggumam, "Aku sayang kamu.." Bagaimana aku bisa menolak saat ia menciumiku dan menekan tubuhku ke dalam pelukan paha-pahanya yang membuka. Bagaimana aku bisa menolak orang yang begitu kusayangi, saat ia mengangkat bajuku dan memasukkan telapak tangannya untuk menyentuh buah dadaku. Sentuhan yang hangat di punggungku, gerakan jemarinya yang lincah saat membuka kaitan bra-ku. Ahh.. hanya kenikmatan yang dapat kurasakan saat jarinya menyentuh ketelanjangan puting susuku, dan mempermainkannya dengan bibirnya dan kecupannya yang lembut.
Bagaimana kau pikir aku dapat membisikkan, "Ada Mama.." di telinganya saat ia membuka kancing celanaku dan menurunkannya menelusuri kaki-kakiku. Bahkan dalam keterlenaanku aku hanya bisa mendesah manja saat ia meraba celana dalamku dan menurunkannya dengan penuh kelembutan. Tak ada lain yang bisa kulakukan selain membungkukkan kepalaku dan memandangi ujung-ujung kaki celananya yang terlipat saat ia berdiri dan melepaskan celananya. Bahkan aku pun tak berani memandangi ketelanjangannya saat ia menjatuhkan celana dalamnya.
Kupejamkan mataku saat jemarinya meraih ujung daguku dan mengangkat wajahku supaya ia lebih mudah mengulum bibirku. Tanpa terasa aku pun menaikkan tumit kakiku, saat pinggulnya turun dan mengangkat pinggulku dengan ketegangan kemaluannya yang terselip di pangkal pahaku. Dapat kurasakan telapak tangannya menempel di kulit pantatku, dan membantu ujung-ujung kakiku menopang tubuhku, menciptakan keleluasaan bagi kemaluannya untuk bergerak dan menggesek bibir-bibir kemaluanku. Hhh.. alangkah nikmatnya merasakan ketegangan itu bergerak-gerak di kemaluanku, mengusap dan membelai, terkadang menusuk dengan lembut, menimbulkan erangan lirih yang keluar dari bibirku. Lengannya merangkulku, mengangkat tubuhku dan membiarkannya bergelantungan pada tubuhnya dengan lengan dan kakiku, saat itu kurasakan betapa kemaluannya menegang dan menyesak di kemaluanku, kubayangkan dalam imajiku ketegangan itu berdiri dan menyusup di bibir kemaluanku, menyembunyikan ujungnya pada lubang keperawananku.
Seluruh pesan Mama untuk menjaga harga diriku seakan hilang tatkala Raja menggendongku dan meletakkan tubuhku di sofa ruang tamu, berlutut di hadapan pahaku yang terbuka, dan bertanya dengan nada lembut dan mata yang penuh kasih,
"Kamu nggak pa-pa..?"
Tentu saja kamu tahu betapa hal itu sangat "pa-pa" bagiku. Namun yang kulakukan saat itu hanya tersenyum, dan memejamkan mataku. Sungguh saat itu seakan merupakan saat pembuktian seluruh kecintaanku padanya. Jadi kubiarkan saja saat ia mengecup ujung-ujung payudaraku, dan tangannya mempermainkan kemaluanku yang terasa sangat terbuka dan basah oleh kenikmatanku sendiri. Dan aku hanya bisa memejamkan mata menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk kemaluanku, saat kurasakan gigitan kecil di puting susuku diiringi tekanan-tekanan ketegangannya pada lubang kemaluanku.
"Ahh.."
Betapa rasa nyeri itu tak seakan tak kurasakan, bahkan kusadari aku pun membuka pahaku lebar-lebar, membiarkan lubang kemaluanku terbuka dan menerima setiap penetrasinya.
Kurasakan punggungnya yang tertancapi kuku jemariku bergerak-gerak, dan bibirnya menempel, menghisap seakan berusaha menelan seluruh gumpalan payudaraku. Kunikmati aroma rambutnya sebagai pengurang rasa nyeri di pangkal pahaku. Dan kurasakan ketegangannya memasuki kemaluanku semakin dalam.. semakin dalam.. Dan sobatku terkasih, di sinilah masalah itu dimulai. Mendadak ia menghentikan gerakannya, memegangi ujung kemaluannya sambil terduduk, walaupun kemaluanku masih terasa sangat nyeri, kuusahakan untuk duduk dan betapa terkejutku saat kulihat cairan putih kemerahan keluar dari sela-sela jemarinya.
"Ahhrrgg.. 'adikku', 'sobek' lagi.. aduh.."
Kudengar ia menggumam dan mengomel, peluh membasahi pelipisnya, segera aku berdiri, mengambil tissue dari meja dan menyodorkannya kepada kecintaanku. Ia mengerenyitkan wajahnya, seakan berusaha menahan sakit. Kuangkat lengannya membimbingnya ke kamar mandi, dan untunglah kamar mandiku ada di bawah tangga, sehingga tak mungkin terlihat oleh Mama yang saat itu kuduga sudah tertidur di kamar atas.
Raja segera memasuki kamar mandi dan dapat kudengar desahan dan erangannya, dari balik pintu. Raja keluar beberapa saat kemudian, alisnya masih berkerenyit, dan tangannya menutupi ujung kemaluannya, mulutnya berkerut sekan mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya saat itu. Waktu itu aku sudah memakai celanaku lagi. Jadi kulihat saja Raja menutupi ketelanjangannya, sambil tetap memegangi kemaluannya dan mengerutkan wajahnya.
"Kamu pernah luka.. di situ?"
"Iya.. enam bulan lalu, terjepit retsleting."
Ahh.. sudahlah. Lagipula, aku sayang dan percaya kepadanya. Kukesampingkan rasa nyeri dan mual di perutku, kupeluk dia dan kusandarkan pipiku di dadanya dengan menggumam manja.
"Uuu.. thayang.." kudengar ia tertawa lirih.
"Untung saja lukanya terbuka.. kalau tidak, bisa kebablasan kita."
Ah.. apapun, honey! Kuanggukkan kepalaku dengan perlahan. Mungkin kamu tidak mengerti kenapa kuceritakan hal percintaanku di atas, mungkin pula kamu akan merasa aku kotor dan merendahkan harga diriku sebagai wanita, mungkin kamu merasa terlalu tinggi dan jijik untuk mambacanya, namun di sinilah letak permasalahannya, oh, aku tidak menyalahkanmu apabila kamu melewatkan bagian itu, namun apabila kau langsung membaca isi suratku berikutnya dan merasa bingung, kumohon kau membaca bagian yang kau lewatkan.
Dan sobat, setelah kau mengerti permasalahannya, apakah kamu bisa menyalahkanku sebagai seorang wanita yang sangat menyayangi kekasihnya? Kita lanjutkan saja. Tepat sebulan yang lalu, kami bersama berikrar untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu, dan dapat kaubayangkan girangnya hatiku mendengar janji itu, betapa tidak..? Namun sobat tersayangku, betapa hidup ini terasa sangat getir, saat kemudian ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hatiku, sekitar pukul 01.30 kemarin pagi.
"Lena, maaf.. aku nyeleweng."
Ahh.. sobat.. bagaimana semua ini bisa terjadi? Apakah salahku kepadanya? Sehingga ia tega berkata demikian kepadaku?
Raja pun bercerita mengenai pekerjaan sampingannya dan berbagai prosesi penempatan dirinya sebagai public relations di tempatnya bekerja. Raja lalu bercerita tentang tender seorang investor bernilai 2,5 miliar yang hanya bisa dimenangkannya melalui pendekatan dengan kekasih gelap si investor. Raja bercerita bagaimana ia terpilih sebagai si approacher. Raja bercerita bagaimana tender ini merupakan segala yang pernah ia cita-citakan, Raja pun bercerita mengenai percintaannya dengan si kekasih gelap di rumahnya. Raja mengatakan kepadaku betapa malunya ia menjumpaiku, dan ia mengatakan itulah alasannya mengapa ia terkesan manjauh dariku selama dua minggu ini, dan kau tahu? Saat kutanya beberapa hari lalu, ia selalu menghindar dengan mengatakan, "Aku sibuk.. aku sibuk.." Oh, pantaskah menurutmu seorang pria mengucapkan hal-hal menyakitkan seperti itu lewat telepon? Tidakkah ia ingin melihat air mata yang mengalir di pipiku? Walaupun aku berkata, "Ya.." terus, lalu seakan tanpa beban? Haruskah aku mengatakan kepadanya rahasia itu?
Bahwa tiga bulan lalu, saat ia berpura-pura meratap dan mengaduh di kamar mandi, kumasukkan telunjukku ke lubang kemaluanku, dan menitikkan air mata kebahagiaan ketika kulihat gumpalan darah kental di ujungnya setelah kukeluarkan? Namun akankah kukatakan bahwa aku juga berpura-pura mempercayai alasan 'adik'-nya yang 'sobek' itu? Alasan yang konyol itu? Bahkan beberapa minggu kemudian setelah kejadian itu, aku masih sempat membuktikan kemulusan batang kemaluannya, sesaat sebelum ia memintaku memasukkannya ke dalam mulutku. Aku pun tahu, alangkah sulitnya bagiku membuktikan bahwa diriku bukan seorang perawan lagi, dan betapa lemahnya alasan bahwa hanya karena ia pacarku, berarti ia yang melakukannya. Betapa alasan yang sangat bodoh, bukan?
Ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ternyata selera humorku belum hilang. Dapat kubayangkan alis-alis dewan juri yang terangkat, sudut-sudut bibir mereka yang tertarik, entah karena menganggapku terlalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh cintaku, ataupun karena membayangkan oleh-oleh mewah yang bisa mereka bawa pulang untuk keluarganya dari uang segepok yang mereka terima sehari sebelumnya. Ahh.. malangnya nasib seorang wanita, bukan begitu pendapatmu sobat? Kamu tak usah bersedih untukku, jangan khawatir, aku tidak selemah itu untuk menenggak obat nyamuk ataupun mengunyah racun tikus, walaupun sempat terlintas di benakku, namun satu hal yang kutahu pasti, aku akan tetap berjalan tegak di atas kedua kakiku, menatap garang ke semua laki-laki perayu, dan mengatakan kepada mereka, sobat.
"Ke laut aje lu!"
Tapi, terima kasihku pada Tuhan yang menguatkan imanku dan kepada dirimu, sobat untuk waktu yang kauberikan kepadaku. Eh, mungkin kita bisa bersama menikmati sore lagi seperti dulu?
Salam sayang,
Lena
TAMAT
Kepada sahabatku tempatku bersandar
di tempat
Halo sobat,
Heran yah? Setelah sekian lama baru aku menulis surat kepadamu. Maaf, mungkin selama itu aku terbuai oleh mimpi indahku yang semu. Namun kuminta sedikit waktumu untuk mendengar ceritaku, sayang aku lebih suka menulisnya lewat surat namun cara ini lebih efisien daripada telepon bukan? Lagipula aku tak ingin mendengar ocehanmu yang selalu sok tahu dan sok dewasa.. ah jangan marah, aku hanya bergurau.
Begini,
Hari ini aku menangis sepuasnya, bukan, bukan karena hasil ujianku yang kutahu pastilah sangat-sangat jelek, bukan pula karena kemarahan Papa karena uang jajanku yang selalu habis. Tapi cintaku.. sayangku.. pergi..
Masih ingat Raja? Raja adalah satu-satunya pria yang mampu membuatku tertawa, mampu membuatku menangis gembira, mampu menepis awan-awan kelabu yang singgah di hari-hariku, yang bisa memelukku dengan lengan-lengannya yang kekar dan dadanya yang bidang. Raja pulalah yang membangkitkanku dari ketenggelamanku dalam duka yang menyayat hatiku delapan bulan lalu, setelah secara begitu menyakitkan, seorang lelaki mencampakkanku demi mantan pacarnya, ah kau pasti tertawa mengingatnya. Raja menghiburku dengan kata-katanya yang manis, membuatku tertawa dengan gurauan-gurauannya, membuatku merasakan diriku sebagai seorang wanita seutuhnya dengan perlakuannya yang gentle terhadapku. Rajalah yang membantuku melalui masa-masa berat di kesendirianku sebagai seorang anak tunggal di keluarga yang terlalu pas-pasan untuk menggaji seorang pembantu rumah tangga.
Ah.. betapa aku menyayangi Raja, bahkan melebihi kasih sayangku pada orangtuaku yang jarang di rumah. Kau tahu kan, profesi Papa sebagai seorang pegawai kantoran, dan Mama sebagai guru sangat menyita waktu mereka untuk menemaniku. Hanya di waktu malam saja mereka menyempatkan waktu untuk membelaiku, dan di hari Minggu, saat kami berangkat ke gereja. Jadi kurasa kau pun tak heran, di samping karena keberadaanku sebagai anak tunggal yang selalu haus akan seorang teman, aku adalah seorang wanita yang memainkan perasaan dalam setiap tindakan dan pikiranku, betapa aku membutuhkan sosok seorang kekasih yang mendampingiku di hari-hari sepiku. Menghangatkan dan menghiburku.
Aku berharap banyak, padanya, kuakui hal itu, karena siapakah aku? Aku bukanlah anak seorang kaya yang mampu memikat lawan jenisku dengan pernik-pernik perhiasan dan baju-baju mewah, bukan pula gadis yang sangat cantik rupawan yang bisa membuat bahkan seorang pangeran pun bertekuk lutut dan mengemis cintaku. Alangkah berbedanya kondisiku dengan Raja, yang terlahir di sebuah keluarga kaya, yang selalu berganti mobil setiap tahun, yang selalu mengenakan pakaian dan parfum ternama di sekujur tubuhnya, yang selalu keluar masuk tempat-tempat gaul di sisi-sisi jalanan Surabaya. Seorang lelaki menarik yang dapat menjatuhkan hati wanita manapun dengan senyum dan daya persuasifnya yang luar biasa. Namun yang kupuja darinya hanyalah kenyataan saat itu bahwa ia begitu menyayangiku, begitu menunjukkan betapa ia tidak memandang harta dan kecantikan dalam kecintaannya padaku.
Bagaimana mungkin seorang wanita tidak terlena oleh kesetiaan yang diberikan seorang pria kepadanya, bahkan perkenalanku dengan seluruh personil keluarganya semakin memicu tercurahnya kasih sayang dan kesetiaanku padanya. Kami telah berhasil menyatukan kedua kelompok kami, yang semula tidak saling mengenal satu sama lain, yang semula berbeda kultur dan kebiasaan, sehingga menjadi satu kelompok remaja yang cerewet dan menggemaskan. Semua sahabat kami, termasuk kau, ingat, mengakui kami sebagai pasangan yang paling serasi, di saat teman yang lainnya bermain layangan dengan kekasih-kekasih mereka (tahu maksudku?).
Segalanya berjalan begitu sempurna, walaupun ada gejolak, namun semuanya terasa dapat terselesaikan dengan baik, di gereja, maupun di antara kami pribadi.
Sobatku tersayang,
Aku ingin mengatakan kepadamu mengapa aku merasa sangat bersedih hari ini, mungkin satu kata perpisahan yang biasa saja takkan membuat hatiku berkeping-keping. Namun kau tahu, sobatku? Ada orang bijak berkata, "jangan melakukan hal yang dapat mencegah terlaksananya hal lain" mungkin kau tak paham artinya. Ah.. mungkin setelah kuceritakan pengalamanku ini kamu akan mengerti.
Sore itu, tiga bulan yang lalu, Raja datang ke rumahku seperti biasa. Dan seperti biasa pula tanpa basa-basi ia langsung menuju ke sudut ruangan dan memainkan jemarinya di atas tuts-tuts organ tuaku. Masih teringat saat itu, ia memainkan lagu "Bunga Terakhir" kegemarannya. Aku mendengarkan dengan seksama, menikmati suaranya yang berat mengiringi lagu itu, dan betapa kulihat dari sudut-sudut matanya terpancar penghayatannya yang begitu dalam terhadap lagu yang sedang dimainkannya. Membuatku terharu terbawa oleh perasaanku sendiri, memeluk punggungnya dan mencium rambutnya yang mulai sedikit panjang. Merasakan kehadiranku di belakangnya, Raja menghentikan gerakan jemarinya, membalikkan tubuhnya, dan menengadah menatap senyuman penuh kasih yang kuberikan padanya. Kulihat ia tersenyum, menarik tubuhku dan mengecup bibirku, membiarkan tanganku menopang berat tubuhku di pahanya.
Ah, bahkan diriku merasa sangat romantis, saat bibirnya bergerak menyapu bibirku seakan menggumam, "Aku sayang kamu.." Bagaimana aku bisa menolak saat ia menciumiku dan menekan tubuhku ke dalam pelukan paha-pahanya yang membuka. Bagaimana aku bisa menolak orang yang begitu kusayangi, saat ia mengangkat bajuku dan memasukkan telapak tangannya untuk menyentuh buah dadaku. Sentuhan yang hangat di punggungku, gerakan jemarinya yang lincah saat membuka kaitan bra-ku. Ahh.. hanya kenikmatan yang dapat kurasakan saat jarinya menyentuh ketelanjangan puting susuku, dan mempermainkannya dengan bibirnya dan kecupannya yang lembut.
Bagaimana kau pikir aku dapat membisikkan, "Ada Mama.." di telinganya saat ia membuka kancing celanaku dan menurunkannya menelusuri kaki-kakiku. Bahkan dalam keterlenaanku aku hanya bisa mendesah manja saat ia meraba celana dalamku dan menurunkannya dengan penuh kelembutan. Tak ada lain yang bisa kulakukan selain membungkukkan kepalaku dan memandangi ujung-ujung kaki celananya yang terlipat saat ia berdiri dan melepaskan celananya. Bahkan aku pun tak berani memandangi ketelanjangannya saat ia menjatuhkan celana dalamnya.
Kupejamkan mataku saat jemarinya meraih ujung daguku dan mengangkat wajahku supaya ia lebih mudah mengulum bibirku. Tanpa terasa aku pun menaikkan tumit kakiku, saat pinggulnya turun dan mengangkat pinggulku dengan ketegangan kemaluannya yang terselip di pangkal pahaku. Dapat kurasakan telapak tangannya menempel di kulit pantatku, dan membantu ujung-ujung kakiku menopang tubuhku, menciptakan keleluasaan bagi kemaluannya untuk bergerak dan menggesek bibir-bibir kemaluanku. Hhh.. alangkah nikmatnya merasakan ketegangan itu bergerak-gerak di kemaluanku, mengusap dan membelai, terkadang menusuk dengan lembut, menimbulkan erangan lirih yang keluar dari bibirku. Lengannya merangkulku, mengangkat tubuhku dan membiarkannya bergelantungan pada tubuhnya dengan lengan dan kakiku, saat itu kurasakan betapa kemaluannya menegang dan menyesak di kemaluanku, kubayangkan dalam imajiku ketegangan itu berdiri dan menyusup di bibir kemaluanku, menyembunyikan ujungnya pada lubang keperawananku.
Seluruh pesan Mama untuk menjaga harga diriku seakan hilang tatkala Raja menggendongku dan meletakkan tubuhku di sofa ruang tamu, berlutut di hadapan pahaku yang terbuka, dan bertanya dengan nada lembut dan mata yang penuh kasih,
"Kamu nggak pa-pa..?"
Tentu saja kamu tahu betapa hal itu sangat "pa-pa" bagiku. Namun yang kulakukan saat itu hanya tersenyum, dan memejamkan mataku. Sungguh saat itu seakan merupakan saat pembuktian seluruh kecintaanku padanya. Jadi kubiarkan saja saat ia mengecup ujung-ujung payudaraku, dan tangannya mempermainkan kemaluanku yang terasa sangat terbuka dan basah oleh kenikmatanku sendiri. Dan aku hanya bisa memejamkan mata menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk kemaluanku, saat kurasakan gigitan kecil di puting susuku diiringi tekanan-tekanan ketegangannya pada lubang kemaluanku.
"Ahh.."
Betapa rasa nyeri itu tak seakan tak kurasakan, bahkan kusadari aku pun membuka pahaku lebar-lebar, membiarkan lubang kemaluanku terbuka dan menerima setiap penetrasinya.
Kurasakan punggungnya yang tertancapi kuku jemariku bergerak-gerak, dan bibirnya menempel, menghisap seakan berusaha menelan seluruh gumpalan payudaraku. Kunikmati aroma rambutnya sebagai pengurang rasa nyeri di pangkal pahaku. Dan kurasakan ketegangannya memasuki kemaluanku semakin dalam.. semakin dalam.. Dan sobatku terkasih, di sinilah masalah itu dimulai. Mendadak ia menghentikan gerakannya, memegangi ujung kemaluannya sambil terduduk, walaupun kemaluanku masih terasa sangat nyeri, kuusahakan untuk duduk dan betapa terkejutku saat kulihat cairan putih kemerahan keluar dari sela-sela jemarinya.
"Ahhrrgg.. 'adikku', 'sobek' lagi.. aduh.."
Kudengar ia menggumam dan mengomel, peluh membasahi pelipisnya, segera aku berdiri, mengambil tissue dari meja dan menyodorkannya kepada kecintaanku. Ia mengerenyitkan wajahnya, seakan berusaha menahan sakit. Kuangkat lengannya membimbingnya ke kamar mandi, dan untunglah kamar mandiku ada di bawah tangga, sehingga tak mungkin terlihat oleh Mama yang saat itu kuduga sudah tertidur di kamar atas.
Raja segera memasuki kamar mandi dan dapat kudengar desahan dan erangannya, dari balik pintu. Raja keluar beberapa saat kemudian, alisnya masih berkerenyit, dan tangannya menutupi ujung kemaluannya, mulutnya berkerut sekan mengungkapkan rasa sakit yang dirasakannya saat itu. Waktu itu aku sudah memakai celanaku lagi. Jadi kulihat saja Raja menutupi ketelanjangannya, sambil tetap memegangi kemaluannya dan mengerutkan wajahnya.
"Kamu pernah luka.. di situ?"
"Iya.. enam bulan lalu, terjepit retsleting."
Ahh.. sudahlah. Lagipula, aku sayang dan percaya kepadanya. Kukesampingkan rasa nyeri dan mual di perutku, kupeluk dia dan kusandarkan pipiku di dadanya dengan menggumam manja.
"Uuu.. thayang.." kudengar ia tertawa lirih.
"Untung saja lukanya terbuka.. kalau tidak, bisa kebablasan kita."
Ah.. apapun, honey! Kuanggukkan kepalaku dengan perlahan. Mungkin kamu tidak mengerti kenapa kuceritakan hal percintaanku di atas, mungkin pula kamu akan merasa aku kotor dan merendahkan harga diriku sebagai wanita, mungkin kamu merasa terlalu tinggi dan jijik untuk mambacanya, namun di sinilah letak permasalahannya, oh, aku tidak menyalahkanmu apabila kamu melewatkan bagian itu, namun apabila kau langsung membaca isi suratku berikutnya dan merasa bingung, kumohon kau membaca bagian yang kau lewatkan.
Dan sobat, setelah kau mengerti permasalahannya, apakah kamu bisa menyalahkanku sebagai seorang wanita yang sangat menyayangi kekasihnya? Kita lanjutkan saja. Tepat sebulan yang lalu, kami bersama berikrar untuk tidak mengulangi lagi perbuatan itu, dan dapat kaubayangkan girangnya hatiku mendengar janji itu, betapa tidak..? Namun sobat tersayangku, betapa hidup ini terasa sangat getir, saat kemudian ia mengucapkan kata-kata yang menusuk hatiku, sekitar pukul 01.30 kemarin pagi.
"Lena, maaf.. aku nyeleweng."
Ahh.. sobat.. bagaimana semua ini bisa terjadi? Apakah salahku kepadanya? Sehingga ia tega berkata demikian kepadaku?
Raja pun bercerita mengenai pekerjaan sampingannya dan berbagai prosesi penempatan dirinya sebagai public relations di tempatnya bekerja. Raja lalu bercerita tentang tender seorang investor bernilai 2,5 miliar yang hanya bisa dimenangkannya melalui pendekatan dengan kekasih gelap si investor. Raja bercerita bagaimana ia terpilih sebagai si approacher. Raja bercerita bagaimana tender ini merupakan segala yang pernah ia cita-citakan, Raja pun bercerita mengenai percintaannya dengan si kekasih gelap di rumahnya. Raja mengatakan kepadaku betapa malunya ia menjumpaiku, dan ia mengatakan itulah alasannya mengapa ia terkesan manjauh dariku selama dua minggu ini, dan kau tahu? Saat kutanya beberapa hari lalu, ia selalu menghindar dengan mengatakan, "Aku sibuk.. aku sibuk.." Oh, pantaskah menurutmu seorang pria mengucapkan hal-hal menyakitkan seperti itu lewat telepon? Tidakkah ia ingin melihat air mata yang mengalir di pipiku? Walaupun aku berkata, "Ya.." terus, lalu seakan tanpa beban? Haruskah aku mengatakan kepadanya rahasia itu?
Bahwa tiga bulan lalu, saat ia berpura-pura meratap dan mengaduh di kamar mandi, kumasukkan telunjukku ke lubang kemaluanku, dan menitikkan air mata kebahagiaan ketika kulihat gumpalan darah kental di ujungnya setelah kukeluarkan? Namun akankah kukatakan bahwa aku juga berpura-pura mempercayai alasan 'adik'-nya yang 'sobek' itu? Alasan yang konyol itu? Bahkan beberapa minggu kemudian setelah kejadian itu, aku masih sempat membuktikan kemulusan batang kemaluannya, sesaat sebelum ia memintaku memasukkannya ke dalam mulutku. Aku pun tahu, alangkah sulitnya bagiku membuktikan bahwa diriku bukan seorang perawan lagi, dan betapa lemahnya alasan bahwa hanya karena ia pacarku, berarti ia yang melakukannya. Betapa alasan yang sangat bodoh, bukan?
Ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ha.. ternyata selera humorku belum hilang. Dapat kubayangkan alis-alis dewan juri yang terangkat, sudut-sudut bibir mereka yang tertarik, entah karena menganggapku terlalu menghalalkan segala cara untuk memperoleh cintaku, ataupun karena membayangkan oleh-oleh mewah yang bisa mereka bawa pulang untuk keluarganya dari uang segepok yang mereka terima sehari sebelumnya. Ahh.. malangnya nasib seorang wanita, bukan begitu pendapatmu sobat? Kamu tak usah bersedih untukku, jangan khawatir, aku tidak selemah itu untuk menenggak obat nyamuk ataupun mengunyah racun tikus, walaupun sempat terlintas di benakku, namun satu hal yang kutahu pasti, aku akan tetap berjalan tegak di atas kedua kakiku, menatap garang ke semua laki-laki perayu, dan mengatakan kepada mereka, sobat.
"Ke laut aje lu!"
Tapi, terima kasihku pada Tuhan yang menguatkan imanku dan kepada dirimu, sobat untuk waktu yang kauberikan kepadaku. Eh, mungkin kita bisa bersama menikmati sore lagi seperti dulu?
Salam sayang,
Lena
TAMAT
Let It Rain 02
Sambungan dari bagian 01
Aku menghampiri tempat tidurnya yang tertata rapi. Perlahan kubaringkan tubuhku, dan rasa dingin sejuk merayap di sekujur kulitku.
"Sini." Ia tampak ragu, kembali kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
"Take your shirt off."
Perintah itu seolah membawanya kembali ke bumi dan perlahan ia duduk di sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir bawahnya, dan kembali lehernya berdetak.
"Slowly." Aku memberi petunjuk dengan senyum merekah.
"Ya," jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah kaosnya dan melepasnya dengan sigap. Terpampanglah dada seorang pria dewasa di depanku. Putingnya yang kecil bulat menegang dengan bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya. Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di sepanjang lengan dan tangannya. Ia memperhatikan mataku yang menyapu dadanya. Tiba-tiba lengannya terangkat dengan tangan terbuka.
"Kenapa," ujarnya penasaran.
"Gimme those hands."
Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur mendekatiku.
"Mau diapain?" sepertinya dengan pikiran yang berkecamuk.
"Celanaku basah."
Ia tersenyum tertahan. "I hope so."
"No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku melepaskannya?"
Ia berkata, "Boleh," tapi sama sekali tak bergerak.
"Want me to?" Aku meraih ujung celanaku dan mengangkat pantatku. Ia meletakkan salah satu tangannya di perutku untuk menahanku. Ia menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia menatap mataku, matanya kembali turun ke bawah. "Sudah cukup lama," katanya muram.
"Dan kamu udach lapar sekali, khan?"
Ia menarik nafas panjang memenuhi setiap sudut paru-parunya. Badannya bergetar kembali. Aku dapat melihat ketegangan di balik celananya. Posisinya benar-benar merangsangku seperti gelembung balon yang mau pecah. Ia menggenggam dengan tangannya sendiri dan meremasnya. Keras. Menghembuskan nafas dari hidungnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha melepaskan celana katunku beserta underwear-nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan berdebar-debar. Ketika tangan itu datang, elusannya benar-benar halus. Kewanitaanku bergejolak menanggapi sensasi yang dibuatnya. Ia menarik celanaku menggantikan kedua tanganku yang sudah meremas sprei tempat tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas untuk memudahkannya terlepas sempurna. Ia melipat celanaku rapi dan meletakkan underwear-ku diatasnya. Tangannya kembali merenggut kedua pahaku dan merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat mungkin dari kewanitaanku. Ia menghirupnya dalam dan menutup matanya. Sekarang giliran Indra yang melenguh tertahan. Tiba-tiba, ia melepas pegangannya di pahaku. Ia bangkit dan melepas celana jeans dan underwear. Kejantanannya mengacung lega di antara kami berdua, menghadap atap kamar yang gemuruh diterpa hujan. Bilur-bilur nadi di sekujur batang kemaluannya menambah nuansa tersendiri. Ia menatapku sesaat dan mengangguk tanpa arti. Tanpa sadar jari jemariku mulai melepas kancing kemejaku dan melempar ke mukanya. Ia tidak kaget, bahkan menangkap kemejaku dengan sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang kembali. Aku memiringkan tubuhku.
"Would you mind?" sambil membuat lirikan manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia membantu melepaskan kaitan bra-ku dan dengan sedikit gemas aku menggaruk punggungnya. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku tidak memperhatikan lagi kemana perginya bra-ku. Kedua tangannya mendorong pundakku dan aku hanya mengikuti pasrah. Tubuhku sudah mulai berkeringat dan kewanitaanku sudah semakin melembab. Dinginnya sprei tempat tidur hanya memberikan kesejukan sementara pada syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing kenikmatan duniawi. Ia kembali menatap dengan mata yang semakin berbinar seolah seorang anak yang diberi mainan baru tanpa keinginan untuk memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan kepalanya mengarah pada wajahku. Tapi perkiraanku ternyata meleset! Untuk beberapa saat ia mencari sesuatu di atas kepalaku. Ketika ia kembali pada posisi duduk, mulutnya sudah menggigit sebungkus kondom. Aku berusaha beranjak bangun dan menatap antusias apa yang akan terjadi selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya menahan ujung penisnya yang sudah merah mengkilat dan menggulung karet pengaman itu menutupi seluruh kejantanannya dengan jari-jari tangan kanannya. Ia berlutut di atas tempat tidur dan jari-jarinya kembali mengurut penisnya seperti meyakinkan posisi karet yang benar-benar nyaman. Jujur saja, saat itu kepalaku sudah semakin pusing dan desiran-desiran yang menyelubungi kewanitaanku semakin menjadi-jadi. Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!
Ia menyelinap di antara kedua kakiku. Kedua lututnya yang terlipat menahan kedua pahaku yang merenggang pasrah. I know this man is gonna rock me. Aku menggapai belakang kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan. Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar sehingga aku dapat menahan serangannya nanti. Rongga kewanitaanku melemas terbuka bersiap untuk menelan sesuatu yang keras dan gemuk di hadapannya. Indra bergerak sangat perlahan. Ia menatap ke bawah tubuh kami dan terkesima melihat daerah pertempuran yang berada di bawah kontrolnya.
"Can I?" ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi, seperti kejantanannya.
"Terserah!" dengan warna suara yang sudah tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku, memenuhi rongga vaginaku, mendesakku ke tempat tidur, dan badanku bergetar keras ketika ia menariknya keluar. Selalu berulang. Keras. Menuju dalamnya tubuhku, dan kembali. Menyusun irama kenikmatan menemani rain symphony.
"Rapatkan kakimu," kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil pelvisnya menabrak klitorisku. Sensasional dan menyenangkan. Denyutan orgasmeku semakin nyata, sayangnya belum cukup.
"I wanna roll over."
"Yeah." Ia berhenti bergerak di dalamku. Agak menarik mundur. Membiarkan lututku pergi. Aku berusaha berbalik mengelilingi kejantanannya, tanpa melepaskannya, sehingga tubuhku berada di atasnya sekarang. Ia meremas pinggulku, seperti pengungkit, ia mulai memompa, mendesak, dan menusuk. Kedua tanganku meremas dadanya, memilin puting payudaraku, dan menggaruk paha kakinya. Aku mengangkat tubuhku sehingga dapat melihat batang kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-gesek bibir vaginaku. Aku menggenggam bola-bola kejantanannya dengan tangan kiri, dan menjepit klitorisku diantara telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
----------
Did u know? Pria lebih pendiam dibandingkan wanita pada saat bersetubuh? Hal ini disebabkan fungsi otak pria yang harus bekerja keras selama prosesi penetrasi/intercourse berlangsung. Aktifitas otak pria diambil alih oleh semua organ seksual dan syaraf-syaraf kenikmatannya. Sedangkan pada wanita, otak masih dapat bekerja secara normal. Hal inilah yang membuat wanita terlihat lebih liar dan tidak terkendali. Tapi wanita dapat dengan segera menyadari perubahan lingkungan di sekitarnya. Jadi jika pria ingin menahan orgasmenya, pada saat mau klimaks, alihkan perhatian otak anda ke sesuatu selain seks. Anda dapat memikirkan pekerjaan kantor/kuliah, rencana esok hari, jadwal/hasil pertandingan, atau susunan pemain team sepak bola. Normalnya, semakin otak pria berpikir keras, aliran darah dan sensitifitas syaraf di organ seksual akan semakin berkurang.
-----------
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di antara kami berdua membuat udara di paru-paruku terlepas keluar membentuk desahan dan jeritan tertahan. Aliran kenikmatan telah menjalar dari tumit sampai ke ubun-ubun kepalaku. Ia menarik keluar penisnya dengan cepat. Vaginaku terasa hampa tanpa arti. Aku merendahkan kewanitaanku berusaha menemukan kembali kejantanannya. Batang kemaluannya terselip di antara bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha untuk menerobos masuk kembali. Kepala penisnya menemukan titik keras klitorisku lagi dan berulang. Aku menekan jari-jariku untuk menahan batang kemaluannya tetap pada posisi itu.
"Kayaknya sebentar lagi nich. Aku akan meledak sebentar lagi," kataku sambil terengah-engah.
"Bilang aja kalau udah deket," bisiknya di telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa kukendalikan lagi. Mulut Indra berusaha untuk membungkamku, mengurangi keliaranku. Aku tidak bisa menahannya walau sudah berjuang keras. Dan aku benar-benar menikmatinya. Ia mendorong kembali pinggulnya dan memasukiku. Ia membenamkan wajahnya di leherku. Aku dapat merasakan denyut nadi di batang kemaluannya, dan kekagetanku yang membuatku melayang ketika tangannya meremas payudaraku dan memilin putingku dengan keras. Perlahan kami berusaha menormalkan kembali pernafasan. Ia membaringkan tubuhku kembali di atas tempat tidur dan meletakkan tubuhku di sisinya. Ia menciumi dengan lembut leher dan dadaku.
"Thanks," ucapnya lirih.
"Lagi..," jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung dengan makan malam. Indra benar-benar kujadikan pemuas dahagaku. Kerinduanku seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur yang basah dan lengket. Aromanya membuatku mabuk dan lemas. Aku pun harus dibantu untuk melangkah keluar kamar. Selama aku di kamar mandi pun, Indra harus mengecek untuk memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat staminaku yang terkuras habis. Ketika pulang, ia mengantarku sampai di depan kamar kostku dan memberikan ciuman kilat di bibirku. Ia menolak dengan tegas undanganku untuk mampir sebentar menikmati nyamannya kamar kostku. Aku mengerti mendengar alasannya yang harus menyelesaikan tugas kuliah malam ini. Sebetulnya staminaku telah kembali seperti semula. Dan aku siap untuk melakukan posisi-posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, aku membersihkan tubuhku dan meresapi kembali kenikmatan yang tersisa. Semua pikiran dan emosi yang mengarahkanku pada cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau terjebak di antaranya. Biarlah pangeranku yang nun jauh di sana dapat merasakan getaran hatiku. Semoga kasihku berkenan datang dalam mimpiku malam ini. Aku berjanji takkan kulepas tubuhmu walau hanya sesosok bayangan. Selamat malam, my sweetheart. See you in dream.
TAMAT
Aku menghampiri tempat tidurnya yang tertata rapi. Perlahan kubaringkan tubuhku, dan rasa dingin sejuk merayap di sekujur kulitku.
"Sini." Ia tampak ragu, kembali kami saling berhadapan, tapi matanya menerawang jauh.
"Take your shirt off."
Perintah itu seolah membawanya kembali ke bumi dan perlahan ia duduk di sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir bawahnya, dan kembali lehernya berdetak.
"Slowly." Aku memberi petunjuk dengan senyum merekah.
"Ya," jawabnya singkat layaknya pasien yang terhipnotis.
Jari-jarinya merenggut ujung bawah kaosnya dan melepasnya dengan sigap. Terpampanglah dada seorang pria dewasa di depanku. Putingnya yang kecil bulat menegang dengan bertaburkan bulu-bulu halus di sekelilingnya. Urat-urat kebiruan sedikit menonjol di sepanjang lengan dan tangannya. Ia memperhatikan mataku yang menyapu dadanya. Tiba-tiba lengannya terangkat dengan tangan terbuka.
"Kenapa," ujarnya penasaran.
"Gimme those hands."
Ia merangkak mendekat di atas tempat tidur mendekatiku.
"Mau diapain?" sepertinya dengan pikiran yang berkecamuk.
"Celanaku basah."
Ia tersenyum tertahan. "I hope so."
"No. no. Aku tadi sempat kedudukan bangku yang basah waktu di angkot. Mau bantu aku melepaskannya?"
Ia berkata, "Boleh," tapi sama sekali tak bergerak.
"Want me to?" Aku meraih ujung celanaku dan mengangkat pantatku. Ia meletakkan salah satu tangannya di perutku untuk menahanku. Ia menatap kakiku, dadaku, dan mulutku. Ketika ia menatap mataku, matanya kembali turun ke bawah. "Sudah cukup lama," katanya muram.
"Dan kamu udach lapar sekali, khan?"
Ia menarik nafas panjang memenuhi setiap sudut paru-parunya. Badannya bergetar kembali. Aku dapat melihat ketegangan di balik celananya. Posisinya benar-benar merangsangku seperti gelembung balon yang mau pecah. Ia menggenggam dengan tangannya sendiri dan meremasnya. Keras. Menghembuskan nafas dari hidungnya dengan menggigit bibir bawahnya.
Aku mengangkat kembali pantatku dan berusaha melepaskan celana katunku beserta underwear-nya. Aku menunggu usapan tangannya dengan berdebar-debar. Ketika tangan itu datang, elusannya benar-benar halus. Kewanitaanku bergejolak menanggapi sensasi yang dibuatnya. Ia menarik celanaku menggantikan kedua tanganku yang sudah meremas sprei tempat tidur. Aku mengangkat kedua kakiku ke atas untuk memudahkannya terlepas sempurna. Ia melipat celanaku rapi dan meletakkan underwear-ku diatasnya. Tangannya kembali merenggut kedua pahaku dan merenggangkannya.
Wajahnya diletakkan sedekat mungkin dari kewanitaanku. Ia menghirupnya dalam dan menutup matanya. Sekarang giliran Indra yang melenguh tertahan. Tiba-tiba, ia melepas pegangannya di pahaku. Ia bangkit dan melepas celana jeans dan underwear. Kejantanannya mengacung lega di antara kami berdua, menghadap atap kamar yang gemuruh diterpa hujan. Bilur-bilur nadi di sekujur batang kemaluannya menambah nuansa tersendiri. Ia menatapku sesaat dan mengangguk tanpa arti. Tanpa sadar jari jemariku mulai melepas kancing kemejaku dan melempar ke mukanya. Ia tidak kaget, bahkan menangkap kemejaku dengan sigap. Dan ritual melipat pakaiannya terulang kembali. Aku memiringkan tubuhku.
"Would you mind?" sambil membuat lirikan manja.
Ia menghampiri dan menatapku tajam. Ia membantu melepaskan kaitan bra-ku dan dengan sedikit gemas aku menggaruk punggungnya. Aku sudah mulai tidak sabar. Aku tidak memperhatikan lagi kemana perginya bra-ku. Kedua tangannya mendorong pundakku dan aku hanya mengikuti pasrah. Tubuhku sudah mulai berkeringat dan kewanitaanku sudah semakin melembab. Dinginnya sprei tempat tidur hanya memberikan kesejukan sementara pada syaraf-syaraf kulitku yang terombang-ambing kenikmatan duniawi. Ia kembali menatap dengan mata yang semakin berbinar seolah seorang anak yang diberi mainan baru tanpa keinginan untuk memegangnya.
Kemudian badannya berbaring dan kepalanya mengarah pada wajahku. Tapi perkiraanku ternyata meleset! Untuk beberapa saat ia mencari sesuatu di atas kepalaku. Ketika ia kembali pada posisi duduk, mulutnya sudah menggigit sebungkus kondom. Aku berusaha beranjak bangun dan menatap antusias apa yang akan terjadi selanjutnya. Jari-jari tangan kirinya menahan ujung penisnya yang sudah merah mengkilat dan menggulung karet pengaman itu menutupi seluruh kejantanannya dengan jari-jari tangan kanannya. Ia berlutut di atas tempat tidur dan jari-jarinya kembali mengurut penisnya seperti meyakinkan posisi karet yang benar-benar nyaman. Jujur saja, saat itu kepalaku sudah semakin pusing dan desiran-desiran yang menyelubungi kewanitaanku semakin menjadi-jadi. Kami melakukan foreplay tanpa sentuhan fisik yang berarti!
Ia menyelinap di antara kedua kakiku. Kedua lututnya yang terlipat menahan kedua pahaku yang merenggang pasrah. I know this man is gonna rock me. Aku menggapai belakang kepalaku untuk sesuatu sebagai pegangan. Sesuatu yang bisa kugunakan sebagai jangkar sehingga aku dapat menahan serangannya nanti. Rongga kewanitaanku melemas terbuka bersiap untuk menelan sesuatu yang keras dan gemuk di hadapannya. Indra bergerak sangat perlahan. Ia menatap ke bawah tubuh kami dan terkesima melihat daerah pertempuran yang berada di bawah kontrolnya.
"Can I?" ia bertanya, suaranya ketat dan tinggi, seperti kejantanannya.
"Terserah!" dengan warna suara yang sudah tidak sabar lagi.
Action! Ia mendorong keras memasukiku, memenuhi rongga vaginaku, mendesakku ke tempat tidur, dan badanku bergetar keras ketika ia menariknya keluar. Selalu berulang. Keras. Menuju dalamnya tubuhku, dan kembali. Menyusun irama kenikmatan menemani rain symphony.
"Rapatkan kakimu," kataku memohon.
Ketika ia melakukannya, bukit kecil pelvisnya menabrak klitorisku. Sensasional dan menyenangkan. Denyutan orgasmeku semakin nyata, sayangnya belum cukup.
"I wanna roll over."
"Yeah." Ia berhenti bergerak di dalamku. Agak menarik mundur. Membiarkan lututku pergi. Aku berusaha berbalik mengelilingi kejantanannya, tanpa melepaskannya, sehingga tubuhku berada di atasnya sekarang. Ia meremas pinggulku, seperti pengungkit, ia mulai memompa, mendesak, dan menusuk. Kedua tanganku meremas dadanya, memilin puting payudaraku, dan menggaruk paha kakinya. Aku mengangkat tubuhku sehingga dapat melihat batang kemaluannya yang masuk-keluar menggesek-gesek bibir vaginaku. Aku menggenggam bola-bola kejantanannya dengan tangan kiri, dan menjepit klitorisku diantara telunjuk dan jari tengah tangan kananku.
----------
Did u know? Pria lebih pendiam dibandingkan wanita pada saat bersetubuh? Hal ini disebabkan fungsi otak pria yang harus bekerja keras selama prosesi penetrasi/intercourse berlangsung. Aktifitas otak pria diambil alih oleh semua organ seksual dan syaraf-syaraf kenikmatannya. Sedangkan pada wanita, otak masih dapat bekerja secara normal. Hal inilah yang membuat wanita terlihat lebih liar dan tidak terkendali. Tapi wanita dapat dengan segera menyadari perubahan lingkungan di sekitarnya. Jadi jika pria ingin menahan orgasmenya, pada saat mau klimaks, alihkan perhatian otak anda ke sesuatu selain seks. Anda dapat memikirkan pekerjaan kantor/kuliah, rencana esok hari, jadwal/hasil pertandingan, atau susunan pemain team sepak bola. Normalnya, semakin otak pria berpikir keras, aliran darah dan sensitifitas syaraf di organ seksual akan semakin berkurang.
-----------
Indra menggeram sekarang, dan tekanan di antara kami berdua membuat udara di paru-paruku terlepas keluar membentuk desahan dan jeritan tertahan. Aliran kenikmatan telah menjalar dari tumit sampai ke ubun-ubun kepalaku. Ia menarik keluar penisnya dengan cepat. Vaginaku terasa hampa tanpa arti. Aku merendahkan kewanitaanku berusaha menemukan kembali kejantanannya. Batang kemaluannya terselip di antara bibir-bibir vaginaku, tanpa berusaha untuk menerobos masuk kembali. Kepala penisnya menemukan titik keras klitorisku lagi dan berulang. Aku menekan jari-jariku untuk menahan batang kemaluannya tetap pada posisi itu.
"Kayaknya sebentar lagi nich. Aku akan meledak sebentar lagi," kataku sambil terengah-engah.
"Bilang aja kalau udah deket," bisiknya di telingaku.
Erangan kenikmatan sudah tidak bisa kukendalikan lagi. Mulut Indra berusaha untuk membungkamku, mengurangi keliaranku. Aku tidak bisa menahannya walau sudah berjuang keras. Dan aku benar-benar menikmatinya. Ia mendorong kembali pinggulnya dan memasukiku. Ia membenamkan wajahnya di leherku. Aku dapat merasakan denyut nadi di batang kemaluannya, dan kekagetanku yang membuatku melayang ketika tangannya meremas payudaraku dan memilin putingku dengan keras. Perlahan kami berusaha menormalkan kembali pernafasan. Ia membaringkan tubuhku kembali di atas tempat tidur dan meletakkan tubuhku di sisinya. Ia menciumi dengan lembut leher dan dadaku.
"Thanks," ucapnya lirih.
"Lagi..," jawabku manja.
Hari ini terpaksa makan siangku digabung dengan makan malam. Indra benar-benar kujadikan pemuas dahagaku. Kerinduanku seakan terjawab ketika berbaring di atas kasur yang basah dan lengket. Aromanya membuatku mabuk dan lemas. Aku pun harus dibantu untuk melangkah keluar kamar. Selama aku di kamar mandi pun, Indra harus mengecek untuk memastikan bahwa aku tidak pingsan akibat staminaku yang terkuras habis. Ketika pulang, ia mengantarku sampai di depan kamar kostku dan memberikan ciuman kilat di bibirku. Ia menolak dengan tegas undanganku untuk mampir sebentar menikmati nyamannya kamar kostku. Aku mengerti mendengar alasannya yang harus menyelesaikan tugas kuliah malam ini. Sebetulnya staminaku telah kembali seperti semula. Dan aku siap untuk melakukan posisi-posisi bersetubuh lainnya.
Dengan air hangat, aku membersihkan tubuhku dan meresapi kembali kenikmatan yang tersisa. Semua pikiran dan emosi yang mengarahkanku pada cinta telah kubuang jauh-jauh. Aku tak mau terjebak di antaranya. Biarlah pangeranku yang nun jauh di sana dapat merasakan getaran hatiku. Semoga kasihku berkenan datang dalam mimpiku malam ini. Aku berjanji takkan kulepas tubuhmu walau hanya sesosok bayangan. Selamat malam, my sweetheart. See you in dream.
TAMAT
Lelaki Bodoh dan Lelaki Baik 01
Bandung, 22 Desember 1995
06:00, Cihampelas-Bandung
Prolog
Wajah enam pemuda di kamar kost saya yang berukuran 4 x 4 cm terlihat serius dan was-was. Ketakutan mencekam hati setiap orang di kamar ini. Kami sedang membahas kejadian yang baru saja kami alami.
"Gimana ya kalo dia melapor ke polisi?" tanya Peter sambil di sela-sela asap rokoknya yang mengepul. Wajahnya terlihat gundah.
"Tapi dia juga mau kok, bukan salah kita," kata Andi mencoba membela diri dengan nada yang tidak begitu meyakinkan.
"Untung gua nggak ngelakuan apa-apa," komentar saya bersyukur.
"Ah, siapa yang tau? Lagipula di mata hukum loe juga bersalah tau, siapa yang menyaksikan kejadian yang melanggar hukum tanpa berusaha mencegah kejadian tersebut sama saja dengan melakukan kejadian tersebut," sela Peter, yang kesal oleh pembelaan diri saya.
Kami semua kemudian terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Gus, loe kayaknya lelaki paling goblok yang pernah gua temui," tiba-tiba Peter memberi komentar mengenai apa yang baru saja saya lakukan.
Saya termenung, baru beberapa jam lalu seorang cewek mengatakan bahwa saya adalah lelaki yang paling baik yang pernah ia temui. Apakah lelaki baik sama dengan lelaki bodoh?
Bab I: Pertemuan Enam Sekawan
Bandung, 23 Desember 1995
17:30, Kampus X
Dengan tergesa-gesa saya memasukkan buku saya ke dalam tas. Kuliah terakhir di tahun 1993 baru berakhir. Mata kuliah Konstruksi Bangunan yang biasanya sangat menarik bagi saya terasa seperti siksaan hari ini.
Iya, empat orang teman saya yang kuliah di Jakarta akan datang hari ini. Bayangkan, dengan satu teman saya lainnya yang kuliah di Bandung, malam ini merupakan reuni terbesar kami sejak berpisah dua tahun yang lalu. Mereka adalah teman-teman saya sejak SMA, teman main saya, teman saya ketika masih hijau, teman saya ketika saya masih belum mengalami pahit dan kerasnya kehidupan ini.
Tanpa menghiraukan teman kuliah lainnya, saya segera memacu Suzuki Katana saya menuju tempat kost saya di jalan Cihampelas. Mereka akan tiba jam 18:00. Tetapi keinginan untuk segera tiba di kost tertunda oleh kemacetan di jalan Cihampelas. Saya memperhatikan mobil-mobil di sekitar saya yang sebagian besar ber-plat B.
"Uh.." pikir saya dengan perasaan sebel, "Penduduk Jakarta hanya membuat kemacetan di mana-mana."
Cewek-cewek cakep yang lalu lalang tidak saya perhatikan lagi. Biasanya saya selalu memperlambat mobil saya sambil cuci mata. Siapa tahu ada yang mau ikut.. hihi..
Di kost ternyata teman-teman saya sudah menunggu. Ada Peter (tokoh ini pernah hadir di cerita Ketika Nafsu Menjadi Raja), Andi (tokoh ini pernah hadir di cerita Semerbak Teratai di Kolam Berlumpur), Ian, Stephen yang baru tiba dari Jakarta. Terlihat juga Guntur yang kuliah di universitas negeri di kota ini. Lengkap sudah dech.
"Wah, datang juga loe akhirnya.." kata Peter ketika melihat saya, "Give me five..!"
"Haha.." saya melayangkan telapak tangan saya yang terbuka untuk menepuk telapak tangannya Peter.
Dia ini teman saya yang paling badung, playboy, dan aktif. Bersama dia, hidup menjadi ramai.
"Kecantol belon ama Mojang Priangan..?" tanya dia.
"Udah dong," sahut dia, biar dia penasaran aja. Padahal belum ketemu tuh.
Akhirnya kami mengobrol panjang lebar di kamar saya yang tidak terlalu luas. Pembicaraan berkisar mengenai kuliah, teman kuliah, dan masalah cewek tentunya. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika kami sepakat untuk makan malam.
Menumpang dua mobil, akhirnya kami menuju Ayam Goreng Semar di dekat jalan Pasir Kaliki. Warung di pinggir jalan ini penuh sesak oleh pengunjung. Memang warung ini merupakan salah satu tempat makan yang cukup dikenal di Bandung. Selesai makan, kami menuju jalan Dago untuk duduk dan ngeceng di KFC - Gelael. Banyak cewek manis yang lalu lalang, tetapi tidak ada yang memberikan isyarat lewat tatapan mata mereka. Akhirnya jam 11 malam kami sepakat menuju diskotik yang berlokasi di jalan Cihampelas.
Bab II: Shinta dan Agnes
Jam 23.00, Diskotik SE, Cihampelas Bandung
Diskotik yang terdiri dari dua lantai ini masih terlihat sepi, maklum jam 11 malam masih terlalu pagi bagi kalong-kalong malam untuk keluar menikmati kilau lampu diskotik. Mata saya segera berkeliaran mencari mahluk yang namanya cewek. Terlihat beberapa orang cewek sedang menikmati musik di lantai disco. Tetapi tidak ada yang menarik perhatian saya.
Kami akhirnya setuju untuk duduk di meja yang berdekatan dengan lantai disco dengan harapan banyak cewek yang akan lalu lalang melewati meja kami. Maklum saja, toilet diskotik ini terletak di depan, satu-satunya tempat berdandan buat cewek di tempat yang gelap ini, ya di toilet. Jadi mereka biasanya selalu mondar mandir ke toilet.
Saya dan teman-teman saya memesan bir. Kerasnya musik di diskotik ini tidak menghalangi kami untuk mengobrol, walaupun harus berteriak. Tanpa terasa ruangan diskotik semakin ramai, meja-meja hampir seluruhnya terisi dan lantai disco terlihat sesak oleh ramainya orang yang berdisco.
Mata saya kembali bekerja, dua orang cewek yang sedang berdisco menarik perhatian saya. Goyangan tubuh mereka yang seronok menghidupkan khayalan saya. Kedua cewek tersebut terlihat masih muda, menurut taksiran saya, umur mereka masih di bawah dua puluh tahun. Yang menarik perhatian saya adalah kedua gadis tersebut sangat berbeda. Gadis yang pertama memakai rok pendek berwarna hitam, rambutnya yang pendek dicat merah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm, terlihat montok oleh tonjolan di dada dan pinggulnya. Gerakan mata dan tubuhnya sangat aktif dan liar.
Temannya gadis yang memakai jeans ketat berwarna hitam terlihat sangat kalem. Tubuhnya tinggi, mungkin sekitar 165 cm, dan agak kurus. Tonjolan di daerah dadanya tidak mencolok. Rambutnya panjang dan hitam. Tatapan matanya sangat lembut, dan goyangan tubuhnya juga lemah lembut.Saya sendiri lebih menyukai cewek yang kalem, karena itu gadis kedua lebih menarik perhatiaan saya.
"Gus, liat dua cewek tuh. Yang satu goyangnya asyik banget," kata Peter, sedikit berteriak.
"Ya, gua tau. Gua lebih suka yang tinggi," sahut saya.
"Payah loe, liat aja goyangannya. Ampunn.." kata Peter dilanjuti ketawa teman-teman saya yang lainnya.
"Kenalan tuh, ayo..! Jangan asal ngomong aja," kata Guntur mencoba memanas-manasi kami.
Perhatian saya segera kembali ke kedua gadis tersebut. Terlihat beberapa orang cowok berjoget di samping mereka. Kelihatannya mereka mencoba menarik perhatian kedua cewek tersebut. Benar saja, terlihat seorang cowok mengatakan sesuatu dan menjulurkan tangannya. Ternyata kedua gadis tersebut hanya tersenyum dan meneruskan jogetan mereka tanpa menghiraukan cowok tersebut.
"Haha.." pikir saya dalam hati, "Malu dong..!"
"Keliatannya bukan cewek murahan," kata saya ke teman-teman, "Mereka nggak mau kenalan tuh ama cowok di sampingnya."
Lima belas menit kemudian dua orang cowok lainnya mencoba mendekati mereka, lagi-lagi dicuekin. Dan tindakan cewek ini menarik minat saya, soalnya ini merupakan tantangan. Biasanya cewek-cewek di diskotik cukup gampang diajak kenalan.
Cukup lama mereka berjoget, dan akhirnya mereka berhenti dan berjalan ke arah meja kami. Dalam hitungan detik, mata saya yang tajam segera menangkap lirikan dan tatapan penuh arti dari mata cewek montok yang ditujukan ke arah Peter. Teman saya ini memang sangat tampan.
"Pet.. gua jamin mereka mau kenalan ama loe," kata saya ke Peter ketika mereka lewat.
"Ah.. bisa aja loe," jawab Peter tidak percaya.
"Loe lupa kalo gua bisa membaca tatapan dan lirikan mata seseorang, ingat kejadian waktu SMA?" kata saya mencoba meyakinkan dia.
Sewaktu SMA saya juga memberitahukan Peter kalau ada cewek yang lagi memperhatikan dia. Dan ternyata benar, akhirnya cewek itu menjadi pacarnya sewaktu SMA. Saya sangat sensitif dengan tatapan mata seseorang.
"Tapi mereka cuek tuh ama cowok," kata Peter ragu-ragu.
"Percaya dech ama gua. Mata tidak bisa menipu," jawab saya.
Akhirnya Peter mengajak saya untuk mendekati kedua cewek tersebut yang sekarang duduk di bar.
"Kenalan dong, nama saya Peter," kata Peter ke cewek yang bertubuh montok.
Kedua cewek tersebut menatap tajam ke arah saya, seakan-akan menyusuri pikiran dan hati kami.
"Hmm, boleh kenalan?" ulang Peter, kali ini ada keraguan di suaranya.
"Shinta," jawab cewek yang bertubuh montok, singkat saja tanpa menjulurkan tangannya. Tatapan matanya dingin.
"Saya Agus," saya memperkenalkan diri saya, "Dan kamu..?"
"Agnes," cewek yang tinggi kurus menjawab pertanyaan saya.
Akhirnya kami mengobrol dan semakin lama kami semakin akrab. Ternyata kedua cewek tersebut sangat kuat menenggak minuman keras. Kurang dari setengah jam, Shinta sudah menghabiskan tiga gelas Rainbow! Dan istimewanya, mereka menolak ketika Peter bermaksud membayar minuman mereka. Jarang saya menemukan gadis seperti ini di diskotik.
Bab II: Lelaki Bodoh/Baik?
02.30 Jalan Setiabudi, Bandung
Dua mobil beriringan memasuki kompleks bungalow yang sudah di-booking Peter. Saya melirik Agnes dan Shinta yang hampir tertidur.
"Gus, gua pengen muntah," kata Shinta.
Saya bergegas membuka pintu dan memapah dia keluar. Kalau muntah di mobil saya kan berabe. Rupanya Shinta mabuk berat, dia sama sekali tidak bisa berdiri tegak. Baru berjalan dua langkah dia sudah memuntahkan isi perutnya. Bau asam terasa menyengat.
Bersambung ke bagian 02
06:00, Cihampelas-Bandung
Prolog
Wajah enam pemuda di kamar kost saya yang berukuran 4 x 4 cm terlihat serius dan was-was. Ketakutan mencekam hati setiap orang di kamar ini. Kami sedang membahas kejadian yang baru saja kami alami.
"Gimana ya kalo dia melapor ke polisi?" tanya Peter sambil di sela-sela asap rokoknya yang mengepul. Wajahnya terlihat gundah.
"Tapi dia juga mau kok, bukan salah kita," kata Andi mencoba membela diri dengan nada yang tidak begitu meyakinkan.
"Untung gua nggak ngelakuan apa-apa," komentar saya bersyukur.
"Ah, siapa yang tau? Lagipula di mata hukum loe juga bersalah tau, siapa yang menyaksikan kejadian yang melanggar hukum tanpa berusaha mencegah kejadian tersebut sama saja dengan melakukan kejadian tersebut," sela Peter, yang kesal oleh pembelaan diri saya.
Kami semua kemudian terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Gus, loe kayaknya lelaki paling goblok yang pernah gua temui," tiba-tiba Peter memberi komentar mengenai apa yang baru saja saya lakukan.
Saya termenung, baru beberapa jam lalu seorang cewek mengatakan bahwa saya adalah lelaki yang paling baik yang pernah ia temui. Apakah lelaki baik sama dengan lelaki bodoh?
Bab I: Pertemuan Enam Sekawan
Bandung, 23 Desember 1995
17:30, Kampus X
Dengan tergesa-gesa saya memasukkan buku saya ke dalam tas. Kuliah terakhir di tahun 1993 baru berakhir. Mata kuliah Konstruksi Bangunan yang biasanya sangat menarik bagi saya terasa seperti siksaan hari ini.
Iya, empat orang teman saya yang kuliah di Jakarta akan datang hari ini. Bayangkan, dengan satu teman saya lainnya yang kuliah di Bandung, malam ini merupakan reuni terbesar kami sejak berpisah dua tahun yang lalu. Mereka adalah teman-teman saya sejak SMA, teman main saya, teman saya ketika masih hijau, teman saya ketika saya masih belum mengalami pahit dan kerasnya kehidupan ini.
Tanpa menghiraukan teman kuliah lainnya, saya segera memacu Suzuki Katana saya menuju tempat kost saya di jalan Cihampelas. Mereka akan tiba jam 18:00. Tetapi keinginan untuk segera tiba di kost tertunda oleh kemacetan di jalan Cihampelas. Saya memperhatikan mobil-mobil di sekitar saya yang sebagian besar ber-plat B.
"Uh.." pikir saya dengan perasaan sebel, "Penduduk Jakarta hanya membuat kemacetan di mana-mana."
Cewek-cewek cakep yang lalu lalang tidak saya perhatikan lagi. Biasanya saya selalu memperlambat mobil saya sambil cuci mata. Siapa tahu ada yang mau ikut.. hihi..
Di kost ternyata teman-teman saya sudah menunggu. Ada Peter (tokoh ini pernah hadir di cerita Ketika Nafsu Menjadi Raja), Andi (tokoh ini pernah hadir di cerita Semerbak Teratai di Kolam Berlumpur), Ian, Stephen yang baru tiba dari Jakarta. Terlihat juga Guntur yang kuliah di universitas negeri di kota ini. Lengkap sudah dech.
"Wah, datang juga loe akhirnya.." kata Peter ketika melihat saya, "Give me five..!"
"Haha.." saya melayangkan telapak tangan saya yang terbuka untuk menepuk telapak tangannya Peter.
Dia ini teman saya yang paling badung, playboy, dan aktif. Bersama dia, hidup menjadi ramai.
"Kecantol belon ama Mojang Priangan..?" tanya dia.
"Udah dong," sahut dia, biar dia penasaran aja. Padahal belum ketemu tuh.
Akhirnya kami mengobrol panjang lebar di kamar saya yang tidak terlalu luas. Pembicaraan berkisar mengenai kuliah, teman kuliah, dan masalah cewek tentunya. Tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul 8 malam ketika kami sepakat untuk makan malam.
Menumpang dua mobil, akhirnya kami menuju Ayam Goreng Semar di dekat jalan Pasir Kaliki. Warung di pinggir jalan ini penuh sesak oleh pengunjung. Memang warung ini merupakan salah satu tempat makan yang cukup dikenal di Bandung. Selesai makan, kami menuju jalan Dago untuk duduk dan ngeceng di KFC - Gelael. Banyak cewek manis yang lalu lalang, tetapi tidak ada yang memberikan isyarat lewat tatapan mata mereka. Akhirnya jam 11 malam kami sepakat menuju diskotik yang berlokasi di jalan Cihampelas.
Bab II: Shinta dan Agnes
Jam 23.00, Diskotik SE, Cihampelas Bandung
Diskotik yang terdiri dari dua lantai ini masih terlihat sepi, maklum jam 11 malam masih terlalu pagi bagi kalong-kalong malam untuk keluar menikmati kilau lampu diskotik. Mata saya segera berkeliaran mencari mahluk yang namanya cewek. Terlihat beberapa orang cewek sedang menikmati musik di lantai disco. Tetapi tidak ada yang menarik perhatian saya.
Kami akhirnya setuju untuk duduk di meja yang berdekatan dengan lantai disco dengan harapan banyak cewek yang akan lalu lalang melewati meja kami. Maklum saja, toilet diskotik ini terletak di depan, satu-satunya tempat berdandan buat cewek di tempat yang gelap ini, ya di toilet. Jadi mereka biasanya selalu mondar mandir ke toilet.
Saya dan teman-teman saya memesan bir. Kerasnya musik di diskotik ini tidak menghalangi kami untuk mengobrol, walaupun harus berteriak. Tanpa terasa ruangan diskotik semakin ramai, meja-meja hampir seluruhnya terisi dan lantai disco terlihat sesak oleh ramainya orang yang berdisco.
Mata saya kembali bekerja, dua orang cewek yang sedang berdisco menarik perhatian saya. Goyangan tubuh mereka yang seronok menghidupkan khayalan saya. Kedua cewek tersebut terlihat masih muda, menurut taksiran saya, umur mereka masih di bawah dua puluh tahun. Yang menarik perhatian saya adalah kedua gadis tersebut sangat berbeda. Gadis yang pertama memakai rok pendek berwarna hitam, rambutnya yang pendek dicat merah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi, sekitar 155 cm, terlihat montok oleh tonjolan di dada dan pinggulnya. Gerakan mata dan tubuhnya sangat aktif dan liar.
Temannya gadis yang memakai jeans ketat berwarna hitam terlihat sangat kalem. Tubuhnya tinggi, mungkin sekitar 165 cm, dan agak kurus. Tonjolan di daerah dadanya tidak mencolok. Rambutnya panjang dan hitam. Tatapan matanya sangat lembut, dan goyangan tubuhnya juga lemah lembut.Saya sendiri lebih menyukai cewek yang kalem, karena itu gadis kedua lebih menarik perhatiaan saya.
"Gus, liat dua cewek tuh. Yang satu goyangnya asyik banget," kata Peter, sedikit berteriak.
"Ya, gua tau. Gua lebih suka yang tinggi," sahut saya.
"Payah loe, liat aja goyangannya. Ampunn.." kata Peter dilanjuti ketawa teman-teman saya yang lainnya.
"Kenalan tuh, ayo..! Jangan asal ngomong aja," kata Guntur mencoba memanas-manasi kami.
Perhatian saya segera kembali ke kedua gadis tersebut. Terlihat beberapa orang cowok berjoget di samping mereka. Kelihatannya mereka mencoba menarik perhatian kedua cewek tersebut. Benar saja, terlihat seorang cowok mengatakan sesuatu dan menjulurkan tangannya. Ternyata kedua gadis tersebut hanya tersenyum dan meneruskan jogetan mereka tanpa menghiraukan cowok tersebut.
"Haha.." pikir saya dalam hati, "Malu dong..!"
"Keliatannya bukan cewek murahan," kata saya ke teman-teman, "Mereka nggak mau kenalan tuh ama cowok di sampingnya."
Lima belas menit kemudian dua orang cowok lainnya mencoba mendekati mereka, lagi-lagi dicuekin. Dan tindakan cewek ini menarik minat saya, soalnya ini merupakan tantangan. Biasanya cewek-cewek di diskotik cukup gampang diajak kenalan.
Cukup lama mereka berjoget, dan akhirnya mereka berhenti dan berjalan ke arah meja kami. Dalam hitungan detik, mata saya yang tajam segera menangkap lirikan dan tatapan penuh arti dari mata cewek montok yang ditujukan ke arah Peter. Teman saya ini memang sangat tampan.
"Pet.. gua jamin mereka mau kenalan ama loe," kata saya ke Peter ketika mereka lewat.
"Ah.. bisa aja loe," jawab Peter tidak percaya.
"Loe lupa kalo gua bisa membaca tatapan dan lirikan mata seseorang, ingat kejadian waktu SMA?" kata saya mencoba meyakinkan dia.
Sewaktu SMA saya juga memberitahukan Peter kalau ada cewek yang lagi memperhatikan dia. Dan ternyata benar, akhirnya cewek itu menjadi pacarnya sewaktu SMA. Saya sangat sensitif dengan tatapan mata seseorang.
"Tapi mereka cuek tuh ama cowok," kata Peter ragu-ragu.
"Percaya dech ama gua. Mata tidak bisa menipu," jawab saya.
Akhirnya Peter mengajak saya untuk mendekati kedua cewek tersebut yang sekarang duduk di bar.
"Kenalan dong, nama saya Peter," kata Peter ke cewek yang bertubuh montok.
Kedua cewek tersebut menatap tajam ke arah saya, seakan-akan menyusuri pikiran dan hati kami.
"Hmm, boleh kenalan?" ulang Peter, kali ini ada keraguan di suaranya.
"Shinta," jawab cewek yang bertubuh montok, singkat saja tanpa menjulurkan tangannya. Tatapan matanya dingin.
"Saya Agus," saya memperkenalkan diri saya, "Dan kamu..?"
"Agnes," cewek yang tinggi kurus menjawab pertanyaan saya.
Akhirnya kami mengobrol dan semakin lama kami semakin akrab. Ternyata kedua cewek tersebut sangat kuat menenggak minuman keras. Kurang dari setengah jam, Shinta sudah menghabiskan tiga gelas Rainbow! Dan istimewanya, mereka menolak ketika Peter bermaksud membayar minuman mereka. Jarang saya menemukan gadis seperti ini di diskotik.
Bab II: Lelaki Bodoh/Baik?
02.30 Jalan Setiabudi, Bandung
Dua mobil beriringan memasuki kompleks bungalow yang sudah di-booking Peter. Saya melirik Agnes dan Shinta yang hampir tertidur.
"Gus, gua pengen muntah," kata Shinta.
Saya bergegas membuka pintu dan memapah dia keluar. Kalau muntah di mobil saya kan berabe. Rupanya Shinta mabuk berat, dia sama sekali tidak bisa berdiri tegak. Baru berjalan dua langkah dia sudah memuntahkan isi perutnya. Bau asam terasa menyengat.
Bersambung ke bagian 02
Lelaki Bodoh dan Lelaki Baik 02
Sambungan dari bagian 01
Teman-teman saya akhirnya membantu membopong tubuh Shinta. Saya kembali ke mobil. Agnes terlihat tertidur nyenyak. Perlahan saya menggoyang tubuhnya..
"Ayo, tidur di dalam, di sini dingin," bisik saya.
Dia hanya membuka matanya sebentar dan bermaksud untuk tidur lagi. Akhirnya dengan susah payah, berhasil membujuk dia untuk masuk ke bungalow yang terdiri dari 3 kamar tidur dan satu ruang tamu.
Di ruang tamu hanya terlihat Guntur yang berbaring lemas di sofa. Saya membawa Agnes menuju ke ruang tidur. Melewati ruang tidur pertama, saya melihat Peter, Ian, Stephen dan Andi mengelilingi Shinta yang berbaring di kasur. Tanpa pikiran apapun, saya membawa Agnes ke kamar kedua dan membaringkan dia di tempat tidur. Parfumnya tercium semerbak dan tubuhnya terasa hangat.
Karena merasa haus, saya melangkahkan kaki saya menuju mobil untuk mengambil aqua yang sudah kami persiapkan. Langkah kaki saya terhenti ketika melewati kamar pertama. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, saya melihat keempat teman saya mengelilingi tubuh Shinta yang hampir telanjang. Walaupun tertutup oleh tubuh teman saya, pandangan mata sempat menyapu indah dan mulusnya tubuh Shinta. Saya berjalan masuk ke kamar tersebut.
Melihat saya, Ian membalikkan tubuhnya dan berbisik, "Dia mabuk Gus, tetapi kayaknya mau-mau aja tuh."
Saya berjalan mendekati kasur. Saat itu bra-nya disingkap ke atas, memamerkan sepasang buah dadanya yang montok. Celana dalamnya yang berwarna hitam terlihat sudah diturunkan sampai ke lututnya. Bulu-bulunya yang halus dibelai perlahan oleh Stephan.
Tiba-tiba terdengar gumanan Shinta, "Ah.. hehe.. sudah lama saya tidak bercinta, lelaki itu buaya.. semuanya.. termasuk kalian.. tetapi gua suka yang buaya.. hehe.."
"Shinta, kamunya masih perawan..?" bisik Peter di telinganya.
"Hehe.. masih.." jawab Shinta dengan mata tertutup.
Teman-teman saya terpaku mendengar jawabannya dan saling berpandangan.
"Tetapi itu tiga tahun yang lalu.. hehehe.." lanjutnya kembali.
Terlihat si Peter menarik nafas lega.
"Mungkin bukan cewek baik-baik.." bisik Ian ke saya. Saya hanya berdiam diri.
Tidak terlihat adanya penolakan dari Shinta ketika teman-teman saya menyentuh buah dadanya yang lumayan montok. Bahkan terlihat dia menikmati, terbukti dari rintihan-rintihannya dan gerakan tubuhnya yang menggelinjang.
"Udah Gus, sikat Agnes aja.." saran Peter, "Kitanya mau giliran neh, loe mau ikutan..?"
"Kagak mau, gua ada Agnes.." jawab saya.
"Hati-hati loe, keliatannya dia nggak mabuk.." komentar Ian.
Setelah itu teman-teman sepakat untuk menggilir Shinta dengan syarat yang lainnya menunggu di luar. Peter ngotot meminta giliran pertama dan disetujui teman-teman saya.
"Udah, punya gua yang paling panjang, jadi gua yang pertama.." kata Peter, "Punya gua ampe ke puser.."
"Mungkin puser loe yang letaknya agak ke bawah.." komentar si Stephan yang juga ngotot minta giliran pertama.
Tidak tertarik oleh debatan mereka dan dengan nafsu yang sudah bangkit, saya kembali ke kamar kedua. Setelah mengunci pintu kamar, saya berjalan menuju ranjang. Agnes terlihat sudah tertidur pulas. Perlahan saya mencium pipinya, tiba-tiba membuka matanya yang terlihat merah dan mengantuk.
"Gus, saya pusing, pijatin dong..!" dia berkata pelan.
Saya duduk di ranjang dan Agnes menjatuhkan kepalanya di paha saya. Saya menggerakkan tangannya untuk memijat kepala dan dahinya. Dia menutup mata dan menikmati pijatan saya. Lima menit kemudian jari tangan saya turun memijat tengkuknya.
"Hihi.. geli.. Gus, tapi enak.." kata Agnes tanpa membuka matanya.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencium bibirnya yang ternyata dibalas dengan penuh nafsu oleh Agnes. Masih dalam posisi Agnes berbaring di paha saya, ciuman kami berlanjut cukup lama. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menyentuh buah dadanya. Jari-jari tangan saya menarik kaosnya ke atas, dan terlihatlah buah dadanya yang tidak terlalu besar, tertutup oleh bra-nya. Dengan cekatan jari tangan saya menyusup ke dalam bra-nya sambil meremas perlahan.
Ciuman si Agnes semakin liar dan buas. Kadang lidah saya dihisap dengan penuh nafsu dan kadang digigit perlahan. Ketika jari tangan saya berhasil mencapai puncak sepasang gunung kembarnya, dia mendesah keras, "Ahh.."
Rintihan dan ciuman membuat nafsu saya menggelegak. Perlahan tangan saya menarik bra-nya ke bawah, akhirnya sepasang gunung itu menonjol keluar, kecil dan mancung. Puncak kecil dan terlihat tegang menantang mulut saya untuk menikmatinya. Tanpa menunggu lama, saya menjulurkan kepala saya dan lidah saya sudah mempermainkan puncaknya.
Terganggu oleh kaos dan bra-nya yang kadang menghalangi tatapan dan perjalanan lidah saya, tangan saya melepas kaosnya dan bra-nya. Ciuman saya berlanjut ke perutnya dan bermain sebentar di titik tengah tubuhnya. Setelah itu celana panjang dan celana dalam putihnya segera menjadi korban tangan saya. Dengan posisi berbaring menghadap ke samping, lidah saya berjalanmenyusuri pahanya Agnes. Saat itu terasa sepasang tangan mungil Agnes berusaha melepaskan celana jeans saya. Terlihat dia bersusah payah walaupun akhirnya celana panjang dan celana dalam saya terlepas. Tangan-tangan Agnes menyentuh dan membelai belalai gajah saya yang sudah mengeras.
Paha Agnes masih tertutup rapat walaupun berkali-kali saya berusaha membukanya.
"Malu.. Gus.." kata Agnes sambil mempermainkan belalai gajah saya.
"Nggak pa-pa kok.. yang liat cuman saya kok..!" bujuk saya.
Cukup lama saya membujuk dia, akhirnya saat pahanya sedikit terbuka, segera kepala saya menyeruak di antara pahanya. Diterangi lampu kamar yang lumayan terang, kemaluannya yang kecil mungil terpampang di hadapan saya.
Saat itu sebenarnya saya masih belum begitu berpengalaman dalam urusan puas-memuaskan wanita. Saya mencium perlahan kemaluan menyusuri bibir kemaluannya yang masih kencang, tanpa mengetahui titik-titik sensitifnya (hehe.. sekarang mah sudah ahli). Bau kewanitaanya sangat merangsang. Pahanya tertutup mengepit rapat kepala saya.
"Ahh.. geellii Gus.., guaa nggak tahan..!" akhirnya dia menggerakkan pinggulnya ke belakang.
"Wah, geli Gus, gua nggak tahan, jangan dong..!" demikian pintanya.
"Ah, nggak pa-pa, bentar lagi juga enak.." kata saya sambil menggerakkan kepala saya menuju daerah kemaluannya lagi.
Tetapi dia menjauh dan berkata serius, "Jangan Gus, saya nggak tahan.. saya masih perawan. Saya tidak mau kehilangan keperawanan saya. Tolong, tolong.. dech..!"
Saya terdiam, saya memang tidak bermaksud merusak dia. Kalau memang dia mau mempertahankan keperawanannya, saya tidak akan memaksa dia.
"Iya.." kata saya sedikit menyesal.
Melihat saya terdiam, rupanya ada rasa bersalah di hati Agnes juga. Dia mendekati saya dan mencium saya kembali. Tangannya mempermainkan belalai gajah saya. Dalam sekejap perasaan sesal berganti oleh nafsu yang bergelora.
Tiba-tiba Agnes mendorong saya untuk berbaring dan menduduki tubuh saya. Tubuhnya diangkat dan dia menggerakkan belalai gajah saya menggesek-gesek bulu kemaluannya yang masih halus, yang kemudian dilanjutkan di daerah kemaluannya. Rasanya sangat nikmat. Kadang dia mencoba memasukkan belalai tersebut di goa kenikmatannya yang masih tertutup rapat. Tetapi dia hanya memasukkan daerah kepala belalai tersebut, keluar masuk, keluar masuk.
Mata saya tertutup menikmati perasaan hangat dan jepitan otot kemaluannya. Cukup lama dia melakukan hal tersebut. Akhirnya, dia menjatuhkan diri di samping saya.
"Capek Gus..?" komentar dia.
Kasian, saya menggerakkan tubuh saya ke atas tubuhnya Agnes. Saya membuka kedua pahanya yang kali itu terbuka dengan mudah. Perlahan saya memasukkan belalai tersebut, tetapi hanya sebatas daerah kepalanya dan saya menggerakkannya keluar masuk.
Agnes mendesis liar. Saat itu sebentar terlintas dalam pikiran saya untuk menghujamkan senjata saya sedalam-dalamnya, dan mengambil keperawanan yang kelihatan sudah dipasrahkannya. Tetapi perasaan kasian membuat saya tidak melakukan hal tersebut.
"Gus.. masukkin Gus.. masukkin..!" akhirnya Agnes meminta saya untuk memasukkan semua belalai tersebut.
Tetapi terlintas dalam pikiran saya betapa dia tadi dia mempertahankan keperawanan dia. Saya merasa kasian dan hanya memasukkan belalai tersebut sebatas kepalanya sambil sesekali memutar belalai tersebut.
Seperempat jam kemudian, sesudah terdorong keluar dari belalai tersebut. Dengan segera saya mencabut belalai tersebut dan muncratlah cairan hangat di sekitar kasur. Saya terbaring lemas sambil memeluk Agnes dengan nafas memburu.
Ketika nafas kita mulai teratur, Agnes berbisik perlahan, "Terima kasih Gus, kamu lelaki yang baik. Saya sebenarnya sudah tidak tahan dan merelakan keperawanan saya. Untung kamunya masih bisa menahan diri."
Saya hanya membelai rambutnya, tersenyum, dan berkata, "Berilah keperawanan kamu kepada cowok yang paling kamu cintai."
Itulah perkataan terakhir saya sebelum kami terlelap. Dan jam lima pagi, teman-teman saya mengajak saya untuk meninggalkan bungalow tersebut. Dengan perasaan berdosa, saya meninggalkan Agnes dan Shinta saat mereka masih tertidur nyenyak.
Dalam perjalanan saya mengetahui bahwa keempat teman saya bergiliran meniduri Shinta. Tetapi mereka mengakui bahwa Shinta masih sadar dan menikmati permainan mereka.
Sesudah peristiwa berlalu, saya selalu berpikir, apa yang terjadi kalau seandainya saya mengambil keperawanan Agnes malam itu. Apakah saya akan menghancurkan masa depan dia? Apakah tidak ada bedanya, nanti juga akan diambil cowok lain? Bodohkah saya seperti kata teman saya? Atau baikkah saya seperti kata Agnes? Yang pasti, menjadi lelaki bodoh kadang membuat kita bisa tidur lelap dan bebas dari rasa bersalah.
TAMAT
Teman-teman saya akhirnya membantu membopong tubuh Shinta. Saya kembali ke mobil. Agnes terlihat tertidur nyenyak. Perlahan saya menggoyang tubuhnya..
"Ayo, tidur di dalam, di sini dingin," bisik saya.
Dia hanya membuka matanya sebentar dan bermaksud untuk tidur lagi. Akhirnya dengan susah payah, berhasil membujuk dia untuk masuk ke bungalow yang terdiri dari 3 kamar tidur dan satu ruang tamu.
Di ruang tamu hanya terlihat Guntur yang berbaring lemas di sofa. Saya membawa Agnes menuju ke ruang tidur. Melewati ruang tidur pertama, saya melihat Peter, Ian, Stephen dan Andi mengelilingi Shinta yang berbaring di kasur. Tanpa pikiran apapun, saya membawa Agnes ke kamar kedua dan membaringkan dia di tempat tidur. Parfumnya tercium semerbak dan tubuhnya terasa hangat.
Karena merasa haus, saya melangkahkan kaki saya menuju mobil untuk mengambil aqua yang sudah kami persiapkan. Langkah kaki saya terhenti ketika melewati kamar pertama. Dari celah pintu yang tidak tertutup rapat, saya melihat keempat teman saya mengelilingi tubuh Shinta yang hampir telanjang. Walaupun tertutup oleh tubuh teman saya, pandangan mata sempat menyapu indah dan mulusnya tubuh Shinta. Saya berjalan masuk ke kamar tersebut.
Melihat saya, Ian membalikkan tubuhnya dan berbisik, "Dia mabuk Gus, tetapi kayaknya mau-mau aja tuh."
Saya berjalan mendekati kasur. Saat itu bra-nya disingkap ke atas, memamerkan sepasang buah dadanya yang montok. Celana dalamnya yang berwarna hitam terlihat sudah diturunkan sampai ke lututnya. Bulu-bulunya yang halus dibelai perlahan oleh Stephan.
Tiba-tiba terdengar gumanan Shinta, "Ah.. hehe.. sudah lama saya tidak bercinta, lelaki itu buaya.. semuanya.. termasuk kalian.. tetapi gua suka yang buaya.. hehe.."
"Shinta, kamunya masih perawan..?" bisik Peter di telinganya.
"Hehe.. masih.." jawab Shinta dengan mata tertutup.
Teman-teman saya terpaku mendengar jawabannya dan saling berpandangan.
"Tetapi itu tiga tahun yang lalu.. hehehe.." lanjutnya kembali.
Terlihat si Peter menarik nafas lega.
"Mungkin bukan cewek baik-baik.." bisik Ian ke saya. Saya hanya berdiam diri.
Tidak terlihat adanya penolakan dari Shinta ketika teman-teman saya menyentuh buah dadanya yang lumayan montok. Bahkan terlihat dia menikmati, terbukti dari rintihan-rintihannya dan gerakan tubuhnya yang menggelinjang.
"Udah Gus, sikat Agnes aja.." saran Peter, "Kitanya mau giliran neh, loe mau ikutan..?"
"Kagak mau, gua ada Agnes.." jawab saya.
"Hati-hati loe, keliatannya dia nggak mabuk.." komentar Ian.
Setelah itu teman-teman sepakat untuk menggilir Shinta dengan syarat yang lainnya menunggu di luar. Peter ngotot meminta giliran pertama dan disetujui teman-teman saya.
"Udah, punya gua yang paling panjang, jadi gua yang pertama.." kata Peter, "Punya gua ampe ke puser.."
"Mungkin puser loe yang letaknya agak ke bawah.." komentar si Stephan yang juga ngotot minta giliran pertama.
Tidak tertarik oleh debatan mereka dan dengan nafsu yang sudah bangkit, saya kembali ke kamar kedua. Setelah mengunci pintu kamar, saya berjalan menuju ranjang. Agnes terlihat sudah tertidur pulas. Perlahan saya mencium pipinya, tiba-tiba membuka matanya yang terlihat merah dan mengantuk.
"Gus, saya pusing, pijatin dong..!" dia berkata pelan.
Saya duduk di ranjang dan Agnes menjatuhkan kepalanya di paha saya. Saya menggerakkan tangannya untuk memijat kepala dan dahinya. Dia menutup mata dan menikmati pijatan saya. Lima menit kemudian jari tangan saya turun memijat tengkuknya.
"Hihi.. geli.. Gus, tapi enak.." kata Agnes tanpa membuka matanya.
Akhirnya saya memberanikan diri untuk mencium bibirnya yang ternyata dibalas dengan penuh nafsu oleh Agnes. Masih dalam posisi Agnes berbaring di paha saya, ciuman kami berlanjut cukup lama. Akhirnya saya memberanikan diri untuk menyentuh buah dadanya. Jari-jari tangan saya menarik kaosnya ke atas, dan terlihatlah buah dadanya yang tidak terlalu besar, tertutup oleh bra-nya. Dengan cekatan jari tangan saya menyusup ke dalam bra-nya sambil meremas perlahan.
Ciuman si Agnes semakin liar dan buas. Kadang lidah saya dihisap dengan penuh nafsu dan kadang digigit perlahan. Ketika jari tangan saya berhasil mencapai puncak sepasang gunung kembarnya, dia mendesah keras, "Ahh.."
Rintihan dan ciuman membuat nafsu saya menggelegak. Perlahan tangan saya menarik bra-nya ke bawah, akhirnya sepasang gunung itu menonjol keluar, kecil dan mancung. Puncak kecil dan terlihat tegang menantang mulut saya untuk menikmatinya. Tanpa menunggu lama, saya menjulurkan kepala saya dan lidah saya sudah mempermainkan puncaknya.
Terganggu oleh kaos dan bra-nya yang kadang menghalangi tatapan dan perjalanan lidah saya, tangan saya melepas kaosnya dan bra-nya. Ciuman saya berlanjut ke perutnya dan bermain sebentar di titik tengah tubuhnya. Setelah itu celana panjang dan celana dalam putihnya segera menjadi korban tangan saya. Dengan posisi berbaring menghadap ke samping, lidah saya berjalanmenyusuri pahanya Agnes. Saat itu terasa sepasang tangan mungil Agnes berusaha melepaskan celana jeans saya. Terlihat dia bersusah payah walaupun akhirnya celana panjang dan celana dalam saya terlepas. Tangan-tangan Agnes menyentuh dan membelai belalai gajah saya yang sudah mengeras.
Paha Agnes masih tertutup rapat walaupun berkali-kali saya berusaha membukanya.
"Malu.. Gus.." kata Agnes sambil mempermainkan belalai gajah saya.
"Nggak pa-pa kok.. yang liat cuman saya kok..!" bujuk saya.
Cukup lama saya membujuk dia, akhirnya saat pahanya sedikit terbuka, segera kepala saya menyeruak di antara pahanya. Diterangi lampu kamar yang lumayan terang, kemaluannya yang kecil mungil terpampang di hadapan saya.
Saat itu sebenarnya saya masih belum begitu berpengalaman dalam urusan puas-memuaskan wanita. Saya mencium perlahan kemaluan menyusuri bibir kemaluannya yang masih kencang, tanpa mengetahui titik-titik sensitifnya (hehe.. sekarang mah sudah ahli). Bau kewanitaanya sangat merangsang. Pahanya tertutup mengepit rapat kepala saya.
"Ahh.. geellii Gus.., guaa nggak tahan..!" akhirnya dia menggerakkan pinggulnya ke belakang.
"Wah, geli Gus, gua nggak tahan, jangan dong..!" demikian pintanya.
"Ah, nggak pa-pa, bentar lagi juga enak.." kata saya sambil menggerakkan kepala saya menuju daerah kemaluannya lagi.
Tetapi dia menjauh dan berkata serius, "Jangan Gus, saya nggak tahan.. saya masih perawan. Saya tidak mau kehilangan keperawanan saya. Tolong, tolong.. dech..!"
Saya terdiam, saya memang tidak bermaksud merusak dia. Kalau memang dia mau mempertahankan keperawanannya, saya tidak akan memaksa dia.
"Iya.." kata saya sedikit menyesal.
Melihat saya terdiam, rupanya ada rasa bersalah di hati Agnes juga. Dia mendekati saya dan mencium saya kembali. Tangannya mempermainkan belalai gajah saya. Dalam sekejap perasaan sesal berganti oleh nafsu yang bergelora.
Tiba-tiba Agnes mendorong saya untuk berbaring dan menduduki tubuh saya. Tubuhnya diangkat dan dia menggerakkan belalai gajah saya menggesek-gesek bulu kemaluannya yang masih halus, yang kemudian dilanjutkan di daerah kemaluannya. Rasanya sangat nikmat. Kadang dia mencoba memasukkan belalai tersebut di goa kenikmatannya yang masih tertutup rapat. Tetapi dia hanya memasukkan daerah kepala belalai tersebut, keluar masuk, keluar masuk.
Mata saya tertutup menikmati perasaan hangat dan jepitan otot kemaluannya. Cukup lama dia melakukan hal tersebut. Akhirnya, dia menjatuhkan diri di samping saya.
"Capek Gus..?" komentar dia.
Kasian, saya menggerakkan tubuh saya ke atas tubuhnya Agnes. Saya membuka kedua pahanya yang kali itu terbuka dengan mudah. Perlahan saya memasukkan belalai tersebut, tetapi hanya sebatas daerah kepalanya dan saya menggerakkannya keluar masuk.
Agnes mendesis liar. Saat itu sebentar terlintas dalam pikiran saya untuk menghujamkan senjata saya sedalam-dalamnya, dan mengambil keperawanan yang kelihatan sudah dipasrahkannya. Tetapi perasaan kasian membuat saya tidak melakukan hal tersebut.
"Gus.. masukkin Gus.. masukkin..!" akhirnya Agnes meminta saya untuk memasukkan semua belalai tersebut.
Tetapi terlintas dalam pikiran saya betapa dia tadi dia mempertahankan keperawanan dia. Saya merasa kasian dan hanya memasukkan belalai tersebut sebatas kepalanya sambil sesekali memutar belalai tersebut.
Seperempat jam kemudian, sesudah terdorong keluar dari belalai tersebut. Dengan segera saya mencabut belalai tersebut dan muncratlah cairan hangat di sekitar kasur. Saya terbaring lemas sambil memeluk Agnes dengan nafas memburu.
Ketika nafas kita mulai teratur, Agnes berbisik perlahan, "Terima kasih Gus, kamu lelaki yang baik. Saya sebenarnya sudah tidak tahan dan merelakan keperawanan saya. Untung kamunya masih bisa menahan diri."
Saya hanya membelai rambutnya, tersenyum, dan berkata, "Berilah keperawanan kamu kepada cowok yang paling kamu cintai."
Itulah perkataan terakhir saya sebelum kami terlelap. Dan jam lima pagi, teman-teman saya mengajak saya untuk meninggalkan bungalow tersebut. Dengan perasaan berdosa, saya meninggalkan Agnes dan Shinta saat mereka masih tertidur nyenyak.
Dalam perjalanan saya mengetahui bahwa keempat teman saya bergiliran meniduri Shinta. Tetapi mereka mengakui bahwa Shinta masih sadar dan menikmati permainan mereka.
Sesudah peristiwa berlalu, saya selalu berpikir, apa yang terjadi kalau seandainya saya mengambil keperawanan Agnes malam itu. Apakah saya akan menghancurkan masa depan dia? Apakah tidak ada bedanya, nanti juga akan diambil cowok lain? Bodohkah saya seperti kata teman saya? Atau baikkah saya seperti kata Agnes? Yang pasti, menjadi lelaki bodoh kadang membuat kita bisa tidur lelap dan bebas dari rasa bersalah.
TAMAT
Lari Subuh Bersama Dirga
Kenalkan nama saya, Anis. Usia 38 tahun, tinggi 150 cm dan berat badan 60 kg, warna kulit coklat kehitaman serta rambut lurus.
Sekitar 40 hari yang lalu, tepatnya di hari minggu sekitar jam 5.00 subuh. Aku keluar rumah untuk olah raga atau berlari subuh sebagaimana yang kulakukan setiap hari minggu subuh. Namun, kali ini lari subuh yang kulakukan sangat bermakna, sebab aku ditemani oleh seorang tetangga dekat. Sebut saja namanya "Dirga". Dia adalah istri sah orang lain yang sudah memiliki 2 orang anak, tapi penampilannya masih cukup menarik. Kulitnya mulus, putih dan tubuhnya langsing.
Ketika aku keluar melewati pintu pagar, secara samar-samar aku melihat sesosok tubuh dengan kaos warna hitam melekat di tubuhnya serta celana setengah panjang tergantung di atas lututnya membuka pintu rumahnya lalu mengikutiku. Aku tetap saja jalan agak cepat dan berpura-pura tidak memperhatikannya, tapi saat aku memasuki sebuah lorong, iapun semakin dekat di belakangku. Aku sangat yakin kalau Dirga sengaja mengejarku untuk berlari subuh bersama.
"Pak, tunggu Pak" panggilnya dari belakang, tapi aku tetap berlari, tapi sengaja kukurangi kecepatannya agar ia bisa lebih dekat denganku.
"Pak Nis, tunggu donk Pak, aku capek nih, kita sama-sama aja" teriaknya dengan suara yang tidak terlalu keras.
Setelah kudengar nafasnya terengah-engah karena jaraknya sudah semakin dekat denganku, mungkin sekitar 10 meter di belakangku, aku lalu berhenti menunggunya, sebab kedengarannya ia capek sekali.
"Ada apa Bu, kenapa ibu mengejarku?" tanyaku sambil berhenti.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengejar bapak agar kita bisa lari bersama, biar lebih santai dan kita bisa sambil ngobrol" katanya dengan nafas terputus-putus karena kecapean.
Setelah Dirga berada di samping kiriku, kami lalu lari bersama, tapi kali ini tidak terlalu kencang, bahkan terkesan lari-lari kecil, yang penting tubuh kami bisa bergerak-gerak sehingga terkesan berolahraga pagi.
"Ngomong-omong, apa ibu juga secara rutin lari subuh setiap hari minggu?" tanyaku pada Dirga sambil berlari kecil.
"Nggak kok, cuma kebetulan kudengar pintu rumah bapak terbuka dan kulihat bapak keluar berpakaian olah raga, sehingga tiba-tiba aku juga tertarik untuk menyegarkan tubuh dan menghirup udara subuh" jawabnya.
"Kenapa Nggak sekalian keluar sama suami ibu atau anak-anak ibu?" tanyaku lagi sambil tetap berlari.
"Anu Pak, suami saya itu baru saja pulang dari jaga malam, maklum kerjaan satpam jarang sekali bermalam di rumah" jawabnya santai.
Kebetulan suami Dirga tugas malam sebagai satpam pada salah satu perusahaan swasta di kota kami. Mendengar ucapan Dirga itu, aku jadi terpancing untuk bertanya lebih jauh tentang kehidupan rumah tangganya. Apalagi kami sudah sering bicara humor. Aku sangat paham kalau Dirga orangnya terbuka, lugu dan sedikit genit. Aku merasa berpeluang besar untuk bertanya lebih banyak padanya soal hubungannya dengan suaminya.
"Maaf Bu, kalau aku terlalu jauh bertanya. Jadi kedua anak ibu itu dicetak pada siang hari semua donk, sebab suami ibu jarang berada di rumah pada malam hari," kata saya pada Dirga, namun ia tetap tidak tersinggung, bahkan nampaknya ia tetap bersikap biasa-biasa saja.
"Bukan pada siang hari Pak, tapi pada subuh dan pago hari, sebab biasanya suami saya pulang pada subuh hari dan langsung saja mengambil jata malamnya, apalagi dalam keadaan ia haus," katanya santai.
Setelah capek, kami beristirahat sejenak di atas jembatan sambil bersandar di pagar besi jembatan. Kebetulan di atas jembatan itu, banyak orang sedang ngobrol dan membahas masalahnya masing-masing.
"Bu Dir, kalau begitu waktu anda berhubungan dengan suami anda selalu singkat dan dilakukan secara terburu-buru, sebab anak-anak anda sudah mulai bangun, lagi pula suami anda sangat ngantuk" pancingku padanya.
"Yah begutulah kebiasaan kami, lalu mau apa lagi jika memang waktunya yang paling tepat hanya saat itu. Sebab di siang hari, anak-anak kami pada berkeliaran dalam rumah dan tamu-tamupun yang datang harus disambut" katanya serius, tapi tetap santai.
"Kalau begitu anda tidak pernah menikmati hubungan suami istri yang sebenarnya sebagaimana layaknya suami istri" pancingku lagi.
"Kok kenapa tidak, kami merasa sama-sama menikmatinya. Buktinya kami punya dua orang anak" katanya serius sekali sambil memandangiku.
Tanpa berhenti bicara, kami lalu berjalan lagi memutar ke jalan menuju rumah kami kembali. Aku coba memikirkan apa lagi yang dapat kutanyakan pada Dirga mengenai hubungannya dengan suaminya. Ini kesempatan emas bagiku untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang kehidupannya di atas ranjang bersama suami, sebab aku berniat membuat ia penasaran agar merasa membutuhkan sex lebih dari yang didapatkan dari suamianya. Aku sebenarnya ingin merangsang dia agar mau melakukan bersama denganku.
"Bu Dir, sex itu sebenarnya melebihi dari apa yang anda lakukan bersama suami anda. Suami-Istri harus menikmati kepuasan berkali-kali minimal selama 3 jam tanpa sedikitpun rasa tergesa-gesa dan takut. Menerapkan berbagaimacam gaya dan posisi. Anda tentu tidak sempat menikmati semua itu khan?" jelas saya pada Dirga panjang lebar.
"Oh yah, tapi bagaimana caranya jika suamiku tidak memungkinkan melakukan hal itu atau tidak mau melakukannya?" tanyanya serius.
Nafas Dirga sangat keras kedengaran ketika ia selesai menanyakan hal itu, bahkan sempat memandangiku dengan penuh harap dan bergairah.
"Sekiranya ada orang lain yang bersedia memberikan kenikmatan itu pada Ibu Dirga, apa ibu tidak keberatan menerimanya?" tanyaku lebih berani.
"Orang lain siapa misalnya?" tanyanya sambil berhenti.
"Sa.. Sa.. Saya misalnya. Maaf ini hanya sekedar misal Bu" jelasku sedikit khawatir kalau-kalau ia tersinggung dan memarahiku.
"Be.. Betulkah ucapan bapak itu? Mana bapak mau sama saya" ucapannya.
"Boleh saja terjadi jika memang hal itu sama-sama dibutuhkan, apalagi terhadap wanita cantik lagi muda seperti ibu Dirga ini" ucapku sambil tersenyum memandangi wajah ibu Dirga yang bertubuh langsing itu.
"Ha.. Ha.. Ha, bisa aja bapak ini. Gombal ni yee" katanya terbahak.
"Betul Bu. Aku serius. Aku tidak main-main nih.." kataku tegas.
Mendengar ketegasanku itu, Ibu Dirga tersentak kaget dan tiba-tiba meraih tanganku lalu mengajakku berhenti di pinggir jalan. Sambil kami berhadap-hadapan dengan jarah sekitar 2 jengkal. Dirga lalu berkata:
"Bila ucapan bapak itu benar dan serius, akupun serius dan bersedia. Tapi bagaimana caranya Pak agar perbuatan kita lebih aman?" tanyanya.
"Suamimu biasanya bangunnya jam berapa?" tanyaku lebih mengarah lagi.
"Biasanya jam 11.00 atau 12.00 siang" jawabnya serikus sekali.
"Kebetulan sekali istri dan anak-anakku mau pulang kampung membesuk keluarga. Mungkin jam 5.00 sore baru balik. Bagaimana kalau ibu bilang sama anaka-anaknya bahwa ibu mau ke pasar, lalu ibu masuk ke rumahku?" tawaranku lebih lanjut.
"Oke, tunggu saja Pak. Sebentar aku akan masuk dari pintu belakang rumah bapak biar tidak ada yang melihatku" katanya berbisik.
Setelah kami sepakat, kami lalu berpisah dan lewat jalan yang berbeda agar tetangga tidak curiga pada kami, apalagi sudah jam 6.30 menit.
Hanya sekitar 5 menit setelah aku masuk ke rumah, pintu belakang rumah kelihatan terbuka dengan pelan. Ternyata Ibu Dirga menepati janjinya. Ia masuk dengan pelan tanpa mengganti pakaian yang dipakainya tadi. Hanya saja bau tubuhya terasa lebih harum menyengat di hidungku.
"Bu, adakah yang melihat ibu ke sini?" tanyaku setelah aku menutup dan mengunci pintu depan dan belakang.
"Tidak ada Pak. Suamiku masih tertidur nyenyak dan anak-anakku lagi main di luar dengan teman-temannya. Aku mengunci pintu dari luar" katanya sambil jalan menuju tempat tidurku.
Setelah kami duduk berdampingan di pinggir tempat tidur, kami sempat bertatapan muka tanpa sepata katapun sejenak. Namun, karena kami sudah saling penasaran dan saling terbakar nafsu, maka kami lalu segera berbalik arah sehingga kami saling berhadap-hadapan dengan jarak yang dekat sekali. Karena dekatnya, maka nafas Dirga terasa menyapu hidungku yang membuat aku sedikit gemetar.
"Ayo Bu kita mulai permainannya" pintaku sambil kuulurkan kedua tanganku untuk meraih kedua tangannya.
"Terserah bapaklah. Aku turuti saja kemauan bapak" katanya sambil menatap wajahku.
Mula-mula aku menyentuh kedua tangannya, lalu naik ke lengan, bahu, leher, pipi dan telinganya sampai mengelus-elus rambut dan dagunya. Dirga hanya diam menerima perlakuanku. Namun setelah kedua tanganku merangkul punggungnya dan mencium pipi dan bibirnya, iapun mulai bergerak membalasnya, sehingga kami saling berpagutan dan mengisap.
"Boleh saya masukkan tanganku Bu?" tanyaku sambil menyelusupkan kedua tanganku masuk di balik kaos yang dipakainya dan secara perlahan menembus masuk di balik BH tipis yang dikenakannya. Dirga hanya mengangguk sambil merangkulku dengan keras dan merapatkan tubhnya di tubhku, sehingga terasa hangatnya di dadaku.
"Boleh kubuka pakaiannya Bu?" tanyaku lagi setelah puas memainkan kedua payudaranya dari dalam pakaiannya.
Ia lagi-lagi hanya mengangguk dan melonggarkan rangkulannya guna memudahkan aku melucuti pakaiannya. Setelah kaos dan BH yang dikenakannya semuanya terlepas dari tubuhnya, aku sejenak melepaskan rangkulan dan pagutan untuk memperhatikan indahnya bentuk tubuhnya yang telanjang, terutama kedua payudaranya yang tergantung di dadanya. Aku sempat terperangah ketika menyaksikan kedua payudaranya yang sangat putih dan mulus, bahkan ukurannya cukup sederhana dan masih keras seperti belum pernah terjamah saja. Maklum kedua anaknya tidak pernah menetekinya, sebab keduanya sejak lahir memang dibiasakan meminum air susu kaleng dengan botol.
Setelah puas memandanginya, aku segera meraih kedua bukit kembarnya dan menyerangnya secara bergantian dengan mulutku. Kuhisap putingnya berkali-kali agar ia cepat terangsang. Dirga hanya bergelinjang dan berdesis.
"Aduh, cepat buka Pak, aku sudah tidak tahan nih. Ayo Pak" pintanya berkali-kali, namun aku sengaja tidak peduli ucapannya. Bahkan aku semakin mempercepat isapanku pada teteknya, lehernya, pusarnya dan seluruh tubuh telanjangnya.
"Ayo donk Pak, buka cepat pakaiannya, aku sudah tak tahan" pintanya lagi.
Kali ini kubuka bajuku lalu celana panjang yang kupakai berlari tadi. Setelah tersisa hanya celana kolorku saja, aku lalu menurunkan celana setengah panjang yang dikenakannya, sehingga kami sama-sama setengah bugil. Kami saling berpelukan dan bergulingan di atas kasur sambil saling meraba seluruh tubuh. Setelah itu aku mengangkanginya, lalu menelanjanginya setelah menelanjangi diriku. Kini kami sudah sama-sama bugil tanpa sehelain benangpun menutupi tubuh kami.
"Pak, ayo dong Pak. Masukkan cepat, aku sudah ingin sekali menikmatinya biar cepat selesai" bisiknya sambil menarik tubuhku lebih dekat ke arah kemaluannya.
Aku patuhi permintaannya. Aku dengan mudah membuka kedua pahanya, sehingga nampak jelas kelentitnya yang mungil berwarna merah jambu muda. Terasa sedikit basah oleh cairan pelicin yang keluar dari sela-sela vaginanya. Bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya cukup tipis dan rapi seolah terawat dengan baik.
"Tahan donk sayang, waktu kita masih panjang. Lagi pula kan aku akan tunjukkan semua permainanku yang belum pernah ibu rasakan" pintaku sambil meraba-raba dan sesekali menusuk-nusuk dengan telunjuk pada lubang yang sedikit menganga di antara kedua pahanya itu.
"Boleh kucium dan kujilat inimu Bu?" tanyaku sambil mendekatkan kepalaku ke selangkangannya.
"Terserah dech, tapi jangan lama-lama, sebab aku semakin tak tahan lagi" katanya pasrah.
Dirga bergelinjang kuat. Pantatnya terangkat-angkat ketika aku menusuk-nusukkan lidahku ke lubang kemaluannya, apalagi saat aku menggigit-gigit kecil kelentitnya yang agak keras dan kenyal itu. Ia semakin berdesis dan setengah berteriak akibat perlauanku yang mengasyikkan itu. Ia sangat menikmatinya, bahkan menekan kepalaku lebih dalam lagi.
"Boleh kumasukkan sekarang Bu?" tanyaku meski aku yakin ia sangat mendambakannya dari tadi.
Secara berlahan tapi pasti, ujung kontolku mulai menyentuh kelentitnya lalu bergeser mencari lubangnya. Setelah ketemu, sedikit demi sedikit mulai menyelusup masuk. Bahkan ketika masuk separoh, aku berniat berlama-lama disiti, tapi dasar wanita yang sudah sangat penasaran, maka ia segera menarik punggungku dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya, sehingga kontolku amblas seluruhnya tanpa bisa lagi kukendalikan.
"Aahhkkhh.. Uukk.. Hhmm.. Eeanaakk.. Sesekaali. Teerus Pak, ayoo.. Gocokk.. Llrr.. Hh.. Aauuhh" itulah suara yang sempat dikeluarkan dari mulut Dirga ketika gocokan kontolku semakin keras dan cepat. Ia bagaikan orang kehausan yang menemukan air minum. Diteguknya keras-keras dan napasnya seolah terputus sejenak menahan rasa kenikmatan yang kuberikan. Tanpa bicara lagi, Dirga langsung memutar tubuhnya, sehingga ia berada di atas mengangkangiku. Ia bagaikan orang naik kuda. Bunyi pantatnya sangat keras beradu dengan perutku, karena ia duduk di atasku sambil membelakangi wajahku.
"Akkhh.. Uuhh.. Uuhh.. Aakkhh.."
Suara itulah yang sempat keluar dari mulutku ketika kurasakan nikmatnya vagina Dirga yang menjepit kemaluanku. Ia seolah tak kenal lelah dan tak mau berhenti melompat di atasku.
"Akkhh.. Buu.. Buu..' berhenti dulu donk. Kita istirahat dulu. Aku kecapean nih" teriakku ketika kurasakan ada cairan hangat yang mulai mau menyelusup keluar di ujung perutku. Tapi Dirga tetap saja bergerak dan bergoyang pinggul di atasku tanpa peduli ucapanku. Karena ia tak mau berhenti, aku segera bangkit dan berlutut sehingga ia secara otomatis nungging di depanku. Aku langsung hantam dari belakang dan menggocok keras serta cepat hingga terasa cairan hangatku sudah berada di ujung penisku. Aku sudah tidak peduli di mana mau tumpah, apa di luar atau di dalam kemaluan Dirga. Yang penting puas.
"Pak, cepat donk, terus gocok dengan keras, ayohh.. Uuhh.. Aahh.. Uummhh.. Auhh" kata Dirga terputus-putus.
Sedetik kemudian, Dirga berteriak sedikit keras:
"Aiihh.. Aakuu.. Kkeeluuaarr.. Paa" dan saat itu pula aku tak mampu mengendalikan diri, sehingga cairan hangatkupun tumpah ke dalam rahim Dirga. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Kami saling memberi kenikmatan yang luar biasa. Pertemuan kemaluan kami terasa sangat rapat dan seolah melekat, sehingga terasa gemetar seluruh tubuh kami. Dirga langsung telungkup dan merapatkan perutnya ke kasur, sementara aku tetap menindihnya. Setelah hampir 2 menit kami tidak bergerak, akhirnya kami saling telentang puas.
Namun, tiba-tiba muncul rasa ketakutan dalam hati saya kalau-kalau Dirga hamil akibat cairan kentalku masuk ke rahimnya.
"Pak, terima kasih atas kenikmatan yang kau berikan. Aku sama sekali baru kali ini merasakannya. Ternyata selama ini aku belum pernah merasakan kepuasan dan menikmati sex yang sebenarnya dari suami saya. Kepuasan yang kuterima dari suami saya selama ini hanyalah semu dan.." belum selesai bicara, aku segera memotongnya dan berkata:
"Maaf Bu bila kenikmatan yang sempat kuberikan masih sedikit, sebab sedianya aku akan memberikan sebanyak mungkin, tapi lain kali saja, sebab aku capek sekali. Habis kita baru saja lari subuh" balasku.
Setelah itu, kami saling berpelukan dan memberi ciuman perpisahan, lalu kami bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Di dalam kamar kami saling berbisik karena takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.
Setelah kami berpakaian lengkap seperti semula, aku lalu membuka pintu belakang rumahku dan memeriksa kalau-kalau ada orang lain yang lalu lalang dan mencurigakan, tapi ternyata sepih. Aku masih mau tahan agar Dirga istirahat sejenak untuk melanjutkan ronde berikutnya, tapi tiba-tiba Dirga melihat jam tangannya lalu segera pamit keluar karena katanya sudah pukul 10.10 menit siang. Suaminya sudah hampir bangun. Iapun cepat-cepat kembali ke rumahnya.
Besoknya kami sempat ketemu seperti layaknya tetangga dan kami pura-pura bersikap biasa-biasa saja, namun hari minggu berikutnya, kamipun kembali berlari subuh bersama, tapi kami hanya sepakat untuk mengulangi persetubuhan kalau ada kesempatan kapan-kapan saja. Aku menjanjikan tip yang lebih nikmat lagi, dan iapun setuju.
E N D
Sekitar 40 hari yang lalu, tepatnya di hari minggu sekitar jam 5.00 subuh. Aku keluar rumah untuk olah raga atau berlari subuh sebagaimana yang kulakukan setiap hari minggu subuh. Namun, kali ini lari subuh yang kulakukan sangat bermakna, sebab aku ditemani oleh seorang tetangga dekat. Sebut saja namanya "Dirga". Dia adalah istri sah orang lain yang sudah memiliki 2 orang anak, tapi penampilannya masih cukup menarik. Kulitnya mulus, putih dan tubuhnya langsing.
Ketika aku keluar melewati pintu pagar, secara samar-samar aku melihat sesosok tubuh dengan kaos warna hitam melekat di tubuhnya serta celana setengah panjang tergantung di atas lututnya membuka pintu rumahnya lalu mengikutiku. Aku tetap saja jalan agak cepat dan berpura-pura tidak memperhatikannya, tapi saat aku memasuki sebuah lorong, iapun semakin dekat di belakangku. Aku sangat yakin kalau Dirga sengaja mengejarku untuk berlari subuh bersama.
"Pak, tunggu Pak" panggilnya dari belakang, tapi aku tetap berlari, tapi sengaja kukurangi kecepatannya agar ia bisa lebih dekat denganku.
"Pak Nis, tunggu donk Pak, aku capek nih, kita sama-sama aja" teriaknya dengan suara yang tidak terlalu keras.
Setelah kudengar nafasnya terengah-engah karena jaraknya sudah semakin dekat denganku, mungkin sekitar 10 meter di belakangku, aku lalu berhenti menunggunya, sebab kedengarannya ia capek sekali.
"Ada apa Bu, kenapa ibu mengejarku?" tanyaku sambil berhenti.
"Tidak ada apa-apa. Aku hanya mengejar bapak agar kita bisa lari bersama, biar lebih santai dan kita bisa sambil ngobrol" katanya dengan nafas terputus-putus karena kecapean.
Setelah Dirga berada di samping kiriku, kami lalu lari bersama, tapi kali ini tidak terlalu kencang, bahkan terkesan lari-lari kecil, yang penting tubuh kami bisa bergerak-gerak sehingga terkesan berolahraga pagi.
"Ngomong-omong, apa ibu juga secara rutin lari subuh setiap hari minggu?" tanyaku pada Dirga sambil berlari kecil.
"Nggak kok, cuma kebetulan kudengar pintu rumah bapak terbuka dan kulihat bapak keluar berpakaian olah raga, sehingga tiba-tiba aku juga tertarik untuk menyegarkan tubuh dan menghirup udara subuh" jawabnya.
"Kenapa Nggak sekalian keluar sama suami ibu atau anak-anak ibu?" tanyaku lagi sambil tetap berlari.
"Anu Pak, suami saya itu baru saja pulang dari jaga malam, maklum kerjaan satpam jarang sekali bermalam di rumah" jawabnya santai.
Kebetulan suami Dirga tugas malam sebagai satpam pada salah satu perusahaan swasta di kota kami. Mendengar ucapan Dirga itu, aku jadi terpancing untuk bertanya lebih jauh tentang kehidupan rumah tangganya. Apalagi kami sudah sering bicara humor. Aku sangat paham kalau Dirga orangnya terbuka, lugu dan sedikit genit. Aku merasa berpeluang besar untuk bertanya lebih banyak padanya soal hubungannya dengan suaminya.
"Maaf Bu, kalau aku terlalu jauh bertanya. Jadi kedua anak ibu itu dicetak pada siang hari semua donk, sebab suami ibu jarang berada di rumah pada malam hari," kata saya pada Dirga, namun ia tetap tidak tersinggung, bahkan nampaknya ia tetap bersikap biasa-biasa saja.
"Bukan pada siang hari Pak, tapi pada subuh dan pago hari, sebab biasanya suami saya pulang pada subuh hari dan langsung saja mengambil jata malamnya, apalagi dalam keadaan ia haus," katanya santai.
Setelah capek, kami beristirahat sejenak di atas jembatan sambil bersandar di pagar besi jembatan. Kebetulan di atas jembatan itu, banyak orang sedang ngobrol dan membahas masalahnya masing-masing.
"Bu Dir, kalau begitu waktu anda berhubungan dengan suami anda selalu singkat dan dilakukan secara terburu-buru, sebab anak-anak anda sudah mulai bangun, lagi pula suami anda sangat ngantuk" pancingku padanya.
"Yah begutulah kebiasaan kami, lalu mau apa lagi jika memang waktunya yang paling tepat hanya saat itu. Sebab di siang hari, anak-anak kami pada berkeliaran dalam rumah dan tamu-tamupun yang datang harus disambut" katanya serius, tapi tetap santai.
"Kalau begitu anda tidak pernah menikmati hubungan suami istri yang sebenarnya sebagaimana layaknya suami istri" pancingku lagi.
"Kok kenapa tidak, kami merasa sama-sama menikmatinya. Buktinya kami punya dua orang anak" katanya serius sekali sambil memandangiku.
Tanpa berhenti bicara, kami lalu berjalan lagi memutar ke jalan menuju rumah kami kembali. Aku coba memikirkan apa lagi yang dapat kutanyakan pada Dirga mengenai hubungannya dengan suaminya. Ini kesempatan emas bagiku untuk mengetahui lebih dalam lagi tentang kehidupannya di atas ranjang bersama suami, sebab aku berniat membuat ia penasaran agar merasa membutuhkan sex lebih dari yang didapatkan dari suamianya. Aku sebenarnya ingin merangsang dia agar mau melakukan bersama denganku.
"Bu Dir, sex itu sebenarnya melebihi dari apa yang anda lakukan bersama suami anda. Suami-Istri harus menikmati kepuasan berkali-kali minimal selama 3 jam tanpa sedikitpun rasa tergesa-gesa dan takut. Menerapkan berbagaimacam gaya dan posisi. Anda tentu tidak sempat menikmati semua itu khan?" jelas saya pada Dirga panjang lebar.
"Oh yah, tapi bagaimana caranya jika suamiku tidak memungkinkan melakukan hal itu atau tidak mau melakukannya?" tanyanya serius.
Nafas Dirga sangat keras kedengaran ketika ia selesai menanyakan hal itu, bahkan sempat memandangiku dengan penuh harap dan bergairah.
"Sekiranya ada orang lain yang bersedia memberikan kenikmatan itu pada Ibu Dirga, apa ibu tidak keberatan menerimanya?" tanyaku lebih berani.
"Orang lain siapa misalnya?" tanyanya sambil berhenti.
"Sa.. Sa.. Saya misalnya. Maaf ini hanya sekedar misal Bu" jelasku sedikit khawatir kalau-kalau ia tersinggung dan memarahiku.
"Be.. Betulkah ucapan bapak itu? Mana bapak mau sama saya" ucapannya.
"Boleh saja terjadi jika memang hal itu sama-sama dibutuhkan, apalagi terhadap wanita cantik lagi muda seperti ibu Dirga ini" ucapku sambil tersenyum memandangi wajah ibu Dirga yang bertubuh langsing itu.
"Ha.. Ha.. Ha, bisa aja bapak ini. Gombal ni yee" katanya terbahak.
"Betul Bu. Aku serius. Aku tidak main-main nih.." kataku tegas.
Mendengar ketegasanku itu, Ibu Dirga tersentak kaget dan tiba-tiba meraih tanganku lalu mengajakku berhenti di pinggir jalan. Sambil kami berhadap-hadapan dengan jarah sekitar 2 jengkal. Dirga lalu berkata:
"Bila ucapan bapak itu benar dan serius, akupun serius dan bersedia. Tapi bagaimana caranya Pak agar perbuatan kita lebih aman?" tanyanya.
"Suamimu biasanya bangunnya jam berapa?" tanyaku lebih mengarah lagi.
"Biasanya jam 11.00 atau 12.00 siang" jawabnya serikus sekali.
"Kebetulan sekali istri dan anak-anakku mau pulang kampung membesuk keluarga. Mungkin jam 5.00 sore baru balik. Bagaimana kalau ibu bilang sama anaka-anaknya bahwa ibu mau ke pasar, lalu ibu masuk ke rumahku?" tawaranku lebih lanjut.
"Oke, tunggu saja Pak. Sebentar aku akan masuk dari pintu belakang rumah bapak biar tidak ada yang melihatku" katanya berbisik.
Setelah kami sepakat, kami lalu berpisah dan lewat jalan yang berbeda agar tetangga tidak curiga pada kami, apalagi sudah jam 6.30 menit.
Hanya sekitar 5 menit setelah aku masuk ke rumah, pintu belakang rumah kelihatan terbuka dengan pelan. Ternyata Ibu Dirga menepati janjinya. Ia masuk dengan pelan tanpa mengganti pakaian yang dipakainya tadi. Hanya saja bau tubuhya terasa lebih harum menyengat di hidungku.
"Bu, adakah yang melihat ibu ke sini?" tanyaku setelah aku menutup dan mengunci pintu depan dan belakang.
"Tidak ada Pak. Suamiku masih tertidur nyenyak dan anak-anakku lagi main di luar dengan teman-temannya. Aku mengunci pintu dari luar" katanya sambil jalan menuju tempat tidurku.
Setelah kami duduk berdampingan di pinggir tempat tidur, kami sempat bertatapan muka tanpa sepata katapun sejenak. Namun, karena kami sudah saling penasaran dan saling terbakar nafsu, maka kami lalu segera berbalik arah sehingga kami saling berhadap-hadapan dengan jarak yang dekat sekali. Karena dekatnya, maka nafas Dirga terasa menyapu hidungku yang membuat aku sedikit gemetar.
"Ayo Bu kita mulai permainannya" pintaku sambil kuulurkan kedua tanganku untuk meraih kedua tangannya.
"Terserah bapaklah. Aku turuti saja kemauan bapak" katanya sambil menatap wajahku.
Mula-mula aku menyentuh kedua tangannya, lalu naik ke lengan, bahu, leher, pipi dan telinganya sampai mengelus-elus rambut dan dagunya. Dirga hanya diam menerima perlakuanku. Namun setelah kedua tanganku merangkul punggungnya dan mencium pipi dan bibirnya, iapun mulai bergerak membalasnya, sehingga kami saling berpagutan dan mengisap.
"Boleh saya masukkan tanganku Bu?" tanyaku sambil menyelusupkan kedua tanganku masuk di balik kaos yang dipakainya dan secara perlahan menembus masuk di balik BH tipis yang dikenakannya. Dirga hanya mengangguk sambil merangkulku dengan keras dan merapatkan tubhnya di tubhku, sehingga terasa hangatnya di dadaku.
"Boleh kubuka pakaiannya Bu?" tanyaku lagi setelah puas memainkan kedua payudaranya dari dalam pakaiannya.
Ia lagi-lagi hanya mengangguk dan melonggarkan rangkulannya guna memudahkan aku melucuti pakaiannya. Setelah kaos dan BH yang dikenakannya semuanya terlepas dari tubuhnya, aku sejenak melepaskan rangkulan dan pagutan untuk memperhatikan indahnya bentuk tubuhnya yang telanjang, terutama kedua payudaranya yang tergantung di dadanya. Aku sempat terperangah ketika menyaksikan kedua payudaranya yang sangat putih dan mulus, bahkan ukurannya cukup sederhana dan masih keras seperti belum pernah terjamah saja. Maklum kedua anaknya tidak pernah menetekinya, sebab keduanya sejak lahir memang dibiasakan meminum air susu kaleng dengan botol.
Setelah puas memandanginya, aku segera meraih kedua bukit kembarnya dan menyerangnya secara bergantian dengan mulutku. Kuhisap putingnya berkali-kali agar ia cepat terangsang. Dirga hanya bergelinjang dan berdesis.
"Aduh, cepat buka Pak, aku sudah tidak tahan nih. Ayo Pak" pintanya berkali-kali, namun aku sengaja tidak peduli ucapannya. Bahkan aku semakin mempercepat isapanku pada teteknya, lehernya, pusarnya dan seluruh tubuh telanjangnya.
"Ayo donk Pak, buka cepat pakaiannya, aku sudah tak tahan" pintanya lagi.
Kali ini kubuka bajuku lalu celana panjang yang kupakai berlari tadi. Setelah tersisa hanya celana kolorku saja, aku lalu menurunkan celana setengah panjang yang dikenakannya, sehingga kami sama-sama setengah bugil. Kami saling berpelukan dan bergulingan di atas kasur sambil saling meraba seluruh tubuh. Setelah itu aku mengangkanginya, lalu menelanjanginya setelah menelanjangi diriku. Kini kami sudah sama-sama bugil tanpa sehelain benangpun menutupi tubuh kami.
"Pak, ayo dong Pak. Masukkan cepat, aku sudah ingin sekali menikmatinya biar cepat selesai" bisiknya sambil menarik tubuhku lebih dekat ke arah kemaluannya.
Aku patuhi permintaannya. Aku dengan mudah membuka kedua pahanya, sehingga nampak jelas kelentitnya yang mungil berwarna merah jambu muda. Terasa sedikit basah oleh cairan pelicin yang keluar dari sela-sela vaginanya. Bulu-bulu yang tumbuh di sekitarnya cukup tipis dan rapi seolah terawat dengan baik.
"Tahan donk sayang, waktu kita masih panjang. Lagi pula kan aku akan tunjukkan semua permainanku yang belum pernah ibu rasakan" pintaku sambil meraba-raba dan sesekali menusuk-nusuk dengan telunjuk pada lubang yang sedikit menganga di antara kedua pahanya itu.
"Boleh kucium dan kujilat inimu Bu?" tanyaku sambil mendekatkan kepalaku ke selangkangannya.
"Terserah dech, tapi jangan lama-lama, sebab aku semakin tak tahan lagi" katanya pasrah.
Dirga bergelinjang kuat. Pantatnya terangkat-angkat ketika aku menusuk-nusukkan lidahku ke lubang kemaluannya, apalagi saat aku menggigit-gigit kecil kelentitnya yang agak keras dan kenyal itu. Ia semakin berdesis dan setengah berteriak akibat perlauanku yang mengasyikkan itu. Ia sangat menikmatinya, bahkan menekan kepalaku lebih dalam lagi.
"Boleh kumasukkan sekarang Bu?" tanyaku meski aku yakin ia sangat mendambakannya dari tadi.
Secara berlahan tapi pasti, ujung kontolku mulai menyentuh kelentitnya lalu bergeser mencari lubangnya. Setelah ketemu, sedikit demi sedikit mulai menyelusup masuk. Bahkan ketika masuk separoh, aku berniat berlama-lama disiti, tapi dasar wanita yang sudah sangat penasaran, maka ia segera menarik punggungku dan mengangkat tinggi-tinggi pantatnya, sehingga kontolku amblas seluruhnya tanpa bisa lagi kukendalikan.
"Aahhkkhh.. Uukk.. Hhmm.. Eeanaakk.. Sesekaali. Teerus Pak, ayoo.. Gocokk.. Llrr.. Hh.. Aauuhh" itulah suara yang sempat dikeluarkan dari mulut Dirga ketika gocokan kontolku semakin keras dan cepat. Ia bagaikan orang kehausan yang menemukan air minum. Diteguknya keras-keras dan napasnya seolah terputus sejenak menahan rasa kenikmatan yang kuberikan. Tanpa bicara lagi, Dirga langsung memutar tubuhnya, sehingga ia berada di atas mengangkangiku. Ia bagaikan orang naik kuda. Bunyi pantatnya sangat keras beradu dengan perutku, karena ia duduk di atasku sambil membelakangi wajahku.
"Akkhh.. Uuhh.. Uuhh.. Aakkhh.."
Suara itulah yang sempat keluar dari mulutku ketika kurasakan nikmatnya vagina Dirga yang menjepit kemaluanku. Ia seolah tak kenal lelah dan tak mau berhenti melompat di atasku.
"Akkhh.. Buu.. Buu..' berhenti dulu donk. Kita istirahat dulu. Aku kecapean nih" teriakku ketika kurasakan ada cairan hangat yang mulai mau menyelusup keluar di ujung perutku. Tapi Dirga tetap saja bergerak dan bergoyang pinggul di atasku tanpa peduli ucapanku. Karena ia tak mau berhenti, aku segera bangkit dan berlutut sehingga ia secara otomatis nungging di depanku. Aku langsung hantam dari belakang dan menggocok keras serta cepat hingga terasa cairan hangatku sudah berada di ujung penisku. Aku sudah tidak peduli di mana mau tumpah, apa di luar atau di dalam kemaluan Dirga. Yang penting puas.
"Pak, cepat donk, terus gocok dengan keras, ayohh.. Uuhh.. Aahh.. Uummhh.. Auhh" kata Dirga terputus-putus.
Sedetik kemudian, Dirga berteriak sedikit keras:
"Aiihh.. Aakuu.. Kkeeluuaarr.. Paa" dan saat itu pula aku tak mampu mengendalikan diri, sehingga cairan hangatkupun tumpah ke dalam rahim Dirga. Apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Kami saling memberi kenikmatan yang luar biasa. Pertemuan kemaluan kami terasa sangat rapat dan seolah melekat, sehingga terasa gemetar seluruh tubuh kami. Dirga langsung telungkup dan merapatkan perutnya ke kasur, sementara aku tetap menindihnya. Setelah hampir 2 menit kami tidak bergerak, akhirnya kami saling telentang puas.
Namun, tiba-tiba muncul rasa ketakutan dalam hati saya kalau-kalau Dirga hamil akibat cairan kentalku masuk ke rahimnya.
"Pak, terima kasih atas kenikmatan yang kau berikan. Aku sama sekali baru kali ini merasakannya. Ternyata selama ini aku belum pernah merasakan kepuasan dan menikmati sex yang sebenarnya dari suami saya. Kepuasan yang kuterima dari suami saya selama ini hanyalah semu dan.." belum selesai bicara, aku segera memotongnya dan berkata:
"Maaf Bu bila kenikmatan yang sempat kuberikan masih sedikit, sebab sedianya aku akan memberikan sebanyak mungkin, tapi lain kali saja, sebab aku capek sekali. Habis kita baru saja lari subuh" balasku.
Setelah itu, kami saling berpelukan dan memberi ciuman perpisahan, lalu kami bangkit menuju kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Di dalam kamar kami saling berbisik karena takut ada orang lain yang mendengar pembicaraan kami.
Setelah kami berpakaian lengkap seperti semula, aku lalu membuka pintu belakang rumahku dan memeriksa kalau-kalau ada orang lain yang lalu lalang dan mencurigakan, tapi ternyata sepih. Aku masih mau tahan agar Dirga istirahat sejenak untuk melanjutkan ronde berikutnya, tapi tiba-tiba Dirga melihat jam tangannya lalu segera pamit keluar karena katanya sudah pukul 10.10 menit siang. Suaminya sudah hampir bangun. Iapun cepat-cepat kembali ke rumahnya.
Besoknya kami sempat ketemu seperti layaknya tetangga dan kami pura-pura bersikap biasa-biasa saja, namun hari minggu berikutnya, kamipun kembali berlari subuh bersama, tapi kami hanya sepakat untuk mengulangi persetubuhan kalau ada kesempatan kapan-kapan saja. Aku menjanjikan tip yang lebih nikmat lagi, dan iapun setuju.
E N D
Langganan:
Postingan (Atom)